°°°
Waktu berjalan dengan cepat, dan aku mulai merasa semakin terbiasa dengan kehidupan kuliah yang dulu terasa sangat berat.
Meski tantangan tetap ada, aku sudah cukup mampu mengatur ritme keseharianku.
Aku lebih jarang begadang, dan nilai-nilai kuliahku mulai stabil.
Rasanya ada kebanggaan tersendiri ketika aku bisa melihat kemajuanku sendiri di kampus.
Keluarga juga tetap menjadi tempatku pulang, meski akhir-akhir ini aku lebih banyak fokus pada kuliah, tetapi komunikasi dengan orang tuaku tetapi berjalan dengan baik.
Hari ini aku kembali menghabiskan waktuku di perpustakaan untuk belajar.
Ketika sedang belajar di perpustakaan, aku menerima telepon dari Ibu. Suaranya terdengar agak berbeda dari biasanya—ada nada sedih yang tak bisa ia sembunyikan.
"Ibu kenapa?" tanyaku, sedikit khawatir.
“Ah, nggak apa-apa, Nak. Ibu cuma ingin mendengar suara kamu," jawabnya, berusaha terdengar ceria. Namun, aku bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.
"Ibu, kalau ada apa-apa, cerita sama aku, ya," aku mendesak lembut, berharap Ibu mau terbuka.
Setelah beberapa detik hening, akhirnya Ibu mulai bercerita. "Ladang kita gagal panen, Nak. Sayur-sayuran yang ditanam Ayah semua kena hama. Ayahmu sudah coba berbagai cara, tapi semuanya sia-sia."
Kata-kata Ibu seperti tamparan keras.
Aku terdiam sejenak, merasakan rasa sakit di dada.
Sejak kecil, aku tahu betapa kerasnya perjuangan Ayah dan Ibu sebagai petani.
Mereka sering kali bangun subuh, berjuang di bawah terik matahari, hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami.
Mendengar bahwa panen mereka gagal membuatku merasa begitu sedih dan tak berdaya.
"Uangnya sekarang hampir habis buat biaya sehari-hari," Ibu melanjutkan dengan suara bergetar. "Tapi, kamu jangan khawatir. Ayah dan Ibu masih bisa cari cara lain. Yang penting kamu fokus kuliah saja."