Menggapai Pelangi

Agusman
Chapter #3

Diadora 68 : Warung Kopi Nikmat Sekali

Jam di dinding warung kopi Diadora 68 menunjukkan pukul 6.30 Wib. Nyonya Ania sudah selesai menyiapkan peralatan di dapur warung kopinya. Pagi itu warung kopinya belum juga di buka karena si Lebeng sang petugas tetap pembuka warung kopi yakni anaknya belum juga bangun dari tidurnya, masih di dalam kamar memeluk bantal guling empuknya.

Pagi itu memang dingin, membuat Lebeng semakin nyenyak dari tidur panjangnya, membalas dendam kantuknya karena malamnya asyik begadang membelalakkan mata, menghadapkan badan di depan televisi berukuran tiga puluh dua inci dan dua bola matanya hilir mudik kesana-kemari melihat dua puluh dua pasukan lapangan hijau mengejar bola bundar yang disepak kesana-kemari.

Baru saja nyonya Ania mendongakkan kepalanya untuk melihat jam di dinding, tepat di atas dinding sebelah kanan agak ke atas, di sana jarum paling pendek yang paling lambat menunjukkan pada pukul 6 dan jarum panjangnya menunjukkan pada angka 9. Melihat sudah agak kesiangan, nyonya Ania segera semakin melaju mengelap meja-meja yang ia sediakan untuk para penikmat kopi dan sarapan pagi di kedai kopinya “Diadora 68”

Setelah selesai, nyonya Ania bergegas naik ke lantai dua. Setibanya di depan kamar Lebeng, nyonya Ania memutar gagang pintu anaknya, ia masuk dan menggoyang-goyangkan badan anaknya untuk menyuruhnya bangun, “Beng - Beng, bangun, sudah hampir jam 7” kata nyonya Ania agak pelan tapi tangannya terus menggoyang badan anaknya cukup kuat.

“Ehhhhh,” keluh anaknya saat berusaha dibangunkan. “bentar lagi lah ma, tanggung...” Jawab Lebeng memohon.

“Tanggung apanya?” Sambar nyonya Ania cepat. “Kita sudah kesiangan. Bangunlah Beng, buka dulu warung kopi, nanti lanjut lagi tidurnya, orang-orang sudah menunggu ingin ngopi dan sarapan pagi” Pujuk nyonya Ania pada anaknya agar bergegas bangkit dari tidurnya.

“Iyalah Mak sayaaaaaang,” goda Lebeng sambil memanjangkan huruf a pada kata sayang sambil berusaha menyadarkan dirinya, “tunggu saja Lebeng di bawah, tiga menit lagi Lebeng turun. Janji” terus lebeng sambil mengangkat tangan dan melihatkan jari tengah dan telunjuknya.

Tiga menit nyonya Ania menunggu di bawah, batang hidung Lebeng tak juga kelihatan. Nyonya Ania yang mulai menggeram, kembali menaiki anak tangga pertama untuk naik ke lantai dua. Baru saja naik pada anak tangga ke tiga. Lebeng pun muncul dengan muka yang masih kusut.

“Kamu ya,” Sambar nyonya Ania ketika melihat anak bujangnya belum cuci muka ketika turun. “Mentang-mentang lagi libur, tidur pun diperpanjang. Sering-seringlah bangun siang, rezekimu dipatok ayam. Baru tahu rasa”

Lebeng pun turun dan kemudian pergi ke belakang tepatnya di WC lantai dasar, tempat yang biasa digunakan tamu yang tersesak ketika ingin buang air saat menikmati sajian kopi di Diadora 68. Ia mengambil segayung air di bak itu dan membasahkan mukanya beberapa kali hingga rasa kantuk yang ia rasakan tak lagi menyiksa dirinya. Kemudian ia bergegas melangkahkan kaki ke depan tempat nyonya Ania yang sedari tadi menunggu dan diperlihatkannya sesungging senyuman di wajahnya untuk menenangkan ibunya.

“Ah, pakai senyum-senyum segala. Jangan kebanyakan gaya kamu Beng” kata nyonya Ania pada anaknya, “Cepat saja buka pintunya,” rutuk nyonya Ania lagi menyuruh paksa anaknya yang jelas sekali nampak seperti terpaksa.

“Iya ini juga sudah cepat ma” jawabnya dan langsung membuka pintu kedai kopinya. Di putarnya kunci pintu ruko itu dua kali ke kanan dan digesernya pintu besi itu ke kanan dan ke kiri, “Gelap ma. Kayaknya mau turun hujan” kata lebeng saat melihat keadaan langit yang menghitam dan angin yang bertiup cukup kencang.

“Biarlah, kita tak kebasahan juga kan? Jualan di dalam gedung, beda dengan pendagang kaki lima itu” kata nyonya Ania sambil menunjuk ke salah satu pedagang kali lima saat telah berdiri di depan kedai kopinya melihat keadaan di luar.

Baru saja warung kopi itu di buka, dua anak buah nyonya Ania yang sudah menunggu di depan kedai kopi tadi masuk ke dalam melangkahkan kaki panjang-panjang, bersiap-siap setelah menegur nyonya Ania dan menyebarkan senyuman ke arah nyonya Ania selaku bos-nya.

Dua anak buah nyonya Ania tadi adalah dua orang gadis berumur belasan tahun. Dua anak gadis itu membantu nyonya Ania dalam memberikan layanan di kedai kopinya. Yang satu bertugas sebagai pengantar dan penerima pesanan ke tiap meja dan yang satu lagi bertugas untuk membuat Mie Rebus, Soto dan Miso atau air dingin.

Lihat selengkapnya