Jam yang melingkar dipergelangan tangan Hafidz kala itu menunjukkan pukul 7 malam kurang 25 menit. Saat itu ia sedang asyik di dalam kamarnya yang berukuran 2 x 3 M, menulis catatan hariannya di buku hitam berukuran 21 cm yang pada depan buku itu bertuliskan “Memo Harian, Exclutive Agenda 137”.
Beberapa menit yang lalu ia baru saja melaksanakan shalat magrib berjamaah bersama emaknya sebagaimana yang sering dilakukan keluarga kecil itu ketika almarhum bapaknya masih hidup, shalat magrib berjamaah di rumah.
Bila kemarin ia bertindak selaku makmum dan mengumandangkan adzan dan iqamat. Setelah kepergian bapaknya ialah yang menjadi imam menggantikan bapaknya sekaligus pelantun adzan dan iqamat. Berbeda sekali ketika keluarga kecil mereka masih lengkap. Kebiasaan itu selalu Hafidz dan Mak Aji Rohani ingat, tak akan pernah terlupakan, mereka juga selalu akan mengingat lantunan ayat-ayat suci Alquran yang merdu dari almarhum bapak Hafidz, mereka juga pastinya akan selalu terkenang dengan doa-doa yang dipanjatkan bersama setelah shalat magrib selesai ditunaikan.
Di luar rumah yang tak megah itu gerimis masih betah turun rintik-rintik, air jatuh dari langit bersamaan dengan pupuk dan nutrisi super canggih, menyegarkan tanaman dan memberikan kebahagiaan kepada seluruh penduduk bumi. Suara katak pun bersahut-sahutan di samping kiri rumahnya, kuat sekali. Hafidz yang mendengar suara katak yang lantang lagi berkali-kali itu jadi teringat dengan kata-kata almarhum bapaknya, “Katak itu sedang bertasbih Nak, memuji Tuhan Semesta Alam Yang Maha Tinggi.”
Di dapur sederhana tempat biasa wanita berkreasi, Mak Aji Rohani sedang menyiapkan santapan makan malam untuknya dan putra tercintanya. Rumah mereka unik, tidak seperti rumah orang kebanyakan, jika sebagian orang dapur berada di belakang rumah. Berbeda dengan rumah Mak Aji Rohani, dapur rumahnya berada di depan rumah, tepatnya di belakang warung kelontongnya. Sengaja ia buat dapur di depan agar bisa masak sambil berjualan sore dan malam.
Saat Mak Aji Rohani sibuk menyendok lauk pauk ke mangkuk dan memindahkan nasi yang telah selesai di masak ke dua piring kaca bening. Peliharaan keluarga itu, kucing berbelang dua; hitam-putih sibuk mengeong berkali-kali dan mendekatkan tubuhnya ke kaki Mak Aji Rohani, ikut meminta jatah makan malam.
“Nak, makan” begitulah perintah Mak Aji Rohani ketika beliau telah menyajikan makan malam dengan talam yang telah ditutupi tudung saji di ruang tengah, tepat di depan kamar Hafidz. Saat Mak Aji Rohani memanggil, di dalam kamar kecil, Hafidz sedang fokus-fokusnya menulis huruf demi huruf hingga menjadi kata dan berubah menjadi kalimat di buku hariannya.
Mendengar perintah dari emaknya, Hafidz pun segera membuka pintu kamarnya dan mendongakkan kepalanya sedikit sembari berkata, “Iya, Mak. Sebentar lagi. Tanggung ni” katanya dengan suara pelan.
Malam itu Hafidz begitu semangat menulis kisahnya pagi tadi. Sejak kepergian mendiang almarhum bapaknya ia rutin menulis di buku hariannya. Sejak kepergian bapaknya ia bertekat dan berjanji pada dirinya sendiri untuk menulis di buku harian, di sana ia bercerita sesuka hati, curhat dengan bapaknya meski tidak tahu pasti apakah bapaknya mendengar atau tidak. Di awal tulisan ia selalu memulai dengan kalimat yang khas, “Pak, hari ini Hafidz”, atau “Pak, kali ini Hafidz mau cerita”, kadang “Pak, apa bapak tahu kalau hari ini Hafidz” tiga kalimat itulah yang selalu menjadi awal kalimat tulisannya di buku agenda hariannya.
“Nak, yuk makan. Kalau dingin tak enak lagi” panggil Mak Aji Rohani sekali lagi sambil menggedor kamar Hafidz tiga kali.