Semigu berlalu begitu cepat.
Hari itu, 21 Juni 2008 adalah hari pengumuman kelulusan sekolah menengah pertama di seluruh penjuru negeri. Hafidz yang bersekolah di sekolah swasta Madrasah Tsanawiyah Tarbiyah Islamiyah pun akan mengambil nomor hari itu juga, tepatnya sebakda Ashar.
Sengaja pengumuman kelulusan di pilih pihak sekolah ketika waktu telah beranjak sore agar muridnya tak lagi berkenan kompoi di jalan raya kebut-kebutan dan corat-coret baju. Tapi sering kali hal itu tidak menghalangi para siswa-siswi untuk corat-coret baju dan kebut-kebutan di jalan raya meluapkan kebahagiaan dan kegembiraannya.
Ketika jam di dinding rumah Hafidz menunjukkan pukul 16.00 Wib, ia berpamitan dengan emaknya dan tak lupa meminta untuk di doakan agar ia dinyatakan lulus, bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Ketika Hafidz baru saja melangkahkan kaki keluar dari pintu depannya, Mak Aji Rohani pun bergegas ke kamarnya untuk mengambil dompet, Mak Aji Rohani akan ke pasar sore membeli dua kilo ayam beras, satu kilo santan murni dan tiga kilo pulut putih untuk sebagai doa selamatan kelulusan Hafidz nantinya.
Mak Aji Rohani percaya sebelum Hafidz memberitahu kelulusannya, Mak Aji Rohani memiliki keyakinan bahwa anaknya akan lulus dan bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Mak Aji Rohani percaya bahwa anaknya termasuk salah satu pelajar yang hari ini akan menerima kabar gembira, “Lulus Sekolah Tingkat Menengah Pertama”
Saat Hafidz telah sampai di sekolahnya, ia masuk ke kelas berkumpul dengan temannya merasakan gugup bersama dan cemas tak karuan. Dan ketika namanya telah di panggil salah satu gurunya, berdiri dan maju untuk menerima amplop putih yang di sana tertulis dengan huruf kapital namanya beserta nomor ujiannya. Amplop putih itu sudah berada di tangannya dan ia kembali ke kursi tempat di mana ia duduk semula dan sangat tak sabar ingin melihat hasilnya. Dengan dada yang berdentam-dentum karena gugup dan dengan pelan perlahan ia menyobek amplop itu pada samping sebelah kirinya dan mengeluarkan catatan kecil pada ampol itu. Di bukanya dan di lihatnya, tulisannya jelas. Pada isi amplop itu kertas kecil bertuliskan “Hafidz, nomor ujian MTS-TI.021-005-2008 dinyatakan LULUS / TIDAK LULUS”.
Melihat tulisan itu ia bergumam dalam hati, Alhamdulillah Ya Allah, sontak ia pun sujud, sujud syukur kepada Tuhan-Nya yang maha tinggi.
Beberapa menit kemudian Hafidz segera pulang dan tak berkenan bergabung dengan temannya yang sejak tadi mengajaknya untuk kompoi di jalan raya, bersama dengan sekolah menengah pertama lainnya yang ada di kotanya. Ia pulang melangkahkan kaki dengan penuh semangat yang membuncah, langkahnya panjang-panjang, ingin segera sampai ke rumahnya dan memberitahu emaknya akan kabar baik itu.
Setelah sampai di rumah, ia mengucapkan salam dan salamnya dijawab dengan pelan. Ia cium punggung tangan emaknya dan memeluknya kemudian mencium kaki emaknya, “Mak, Alhamdulillah. Anakmu ini LULUS” katanya saat masih sedang jongkok setelah mencium kaki emaknya dan mendongakkan kepalanya kepada emaknya yang sejak tadi berdiri tersenyum melihat anak semata wayangnya.
“Alhamduliilah Nak, selamat ya. Emak selalu percaya dengan usaha dan doa Hafidz”
Tanpa sepengetahuan Hafidz, mengetahui hari ini adalah hari penerimaan nomor ujian nasional. Saat Hafidz berangkat ke sekolah mengambil nomor, Mak Aji Rohani yang tadinya pergi berbelanja di pasar sore setelah kepulangannya segera memasak untuk acara kecil-kecilannya di rumah, mendoa seperti kebiasaan almarhum suaminya.