Pagi itu, hari Jumat pertengahan bulan Juni, pukul tujuh lewat sepuluh. Dua anak beranak di dalam rumah sederhana baru saja selesai sarapan bersama dan telah siap berangkat ke pasar untuk mendagangkan dagangannya di pasar kaki lima.
Anak beranak itu adalah Hafidz yang baru saja menyelesaikan ujian nasional di Madrasah Tsanawiyah Tarbiyah Islamiyah setingkat SMP. Dan emaknya, yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Mak Aji Rohani oleh orang-orang di sana, umurnya 46 tahun, seorang janda yang tak berkenan untuk kembali menikah.
Setelah sarapan Hafidz bergegas turun dari rumah dan menuju motor butut dan telah duduk menunggangi roda duanya, Mak Aji Rohani pun mengekor di belakang putra semata wayangnya itu. Ketika sampai di samping anaknya Mak Aji Rohani mendongakkan kepalanya beberapa detik, melihat keadaan langit yang ia lihat pagi itu agak gelap dan awan bergumpal-gumpal kehitaman.
“Jadi kita jualan hari ini Mak?” tanya Hafidz sambil menatap emaknya saat telah siap menaiki di boncengan Hafidz, “Mau turun hujan nampaknya, Mak” lanjut Hafidz melengkapi kalimatnya
“Jadi Nak, belum tentu kan awan gelap menurunkan hujan” terang Mak Aji sambil naik di boncengan motor butut peninggalan suaminya. “Yuk, kita berangkat sekarang.” seru Mak Aji Rohani mengajak putranya sambil menepuk pelan dengan sayang di pundak anaknya. Hafidz pun segera menginjak pedal sepeda motor butut peninggalan almarhum bapaknya itu. Hingga pada hentakan ke tiga, baru motor ini menyala dan siap melaju bersama pemiliknya.
Sepuluh menit di perjalanan, mereka telah sampai di pasar Dam[1]. Di pasar Dam yang orang-orang jadikan pasar kaki lima kota itu angin bertiup cukup kencang sehingga menerbangkan sampah yang berserakan, mengoyak baliho para calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tersisa pada pemilu kemarin yang belum juga dibuka.
Angin yang kencang itu membuat pedagang kaki lima cemas bukan kepalang, hingga enggan untuk membuka lapak dagangannya karena kawatir hujan akan turun deras. Angin yang dikirim Tuhan menghalau debu-debu di jalanan sehingga para pembeli dan pedagang kaki lima yang telah berada di sana, yang sudah membuka lapaknya segera menyingkir sembari membalikkan badan, berlarian mencari tempat untuk berteduh.
Sejak pagi matahari memang tak berkenan muncul, awan di permukaan langit manampakkan wujudnya yang hitam lagi pekat dan bergumpal-gumpal. Petir menggelegar bersahut-sahutan sesekali meski tidak mengerikan. Seperti biasanya, ketika alam menampilkaan keadaan berangin, gelap dan diawali dengan kilat sambar-menyambar, itu merupakan salah satu pertanda bahwa Tuhan akan segera menurunkan barakahnya berupa kucuran hujan untuk memberikan kedamaian kepada para penduduk bumi.
Tak perlu menunggu lama rintik-rintik hujan mulai turun semakin deras. Mak Aji Rohani dan Hafidz yang melihat hujan begitu deras mengurungkan niatnya untuk membuka lapak dagangannya. Mereka berdiri di depan ruko milik seorang Tauke kelapa tempat mereka biasa menitipkan barang dagangannya ketika kembali pulang.
Agak lama mereka berdiri di depan ruko Tauke Atong, terkadang sesekali duduk di pelantar ruko itu. Hafidz mulai bosan dan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jarum jam paling pendek di pergelangan tangannya telah menunjukkan pukul sembilan dan yang paling panjang menunjukkan pada angka tiga. Pukul 09.15 Wib. Hujan belum juga berkenan untuk berhenti.
Diliriknya emaknya, dilihatnya saat itu emaknya menengadahkan tangan sembari memejamkan matanya. Melihat perlakuan emaknya itu, ia tahu bahwa emaknya sedang memanjatkan doa-doa terbaiknya. Sejak lama ia hafal, ketika hujan turun emaknya banyak berdoa, ia tahu karena sejak kecil dirinya telah diingatkan oleh almarhum bapaknya bahwa doa yang dipanjatkan ketika hujan turun adalah salah satu tempat tidak tertolaknya sebuah doa.