“Le, kamu dengerin Mama ndak sih?!” sebuah tepukan keras mendarat di bahu kiri Radit, nyaris menjatuhkan tas-tas belanjaan yang dengan susah payah dibawanya sejak masuk ke dalam Grand City Mall Surabaya, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya. Belum satu jam sejak mereka masuk, namun kini dia sudah kewalahan mengatasi barang-barang yang tak hentinya dibeli oleh Sang Mama.
“Iya ... iya .. Radit denger kok, Ma,” jawab Radit ogah-ogahan, sementara tangan kanannya susah payah merogoh saku celananya, mencari-cari benda berbentuk persegi panjang hitam favoritnya.
“Kamu ini ngapain sih, dari tadi? Kok ndak fokus gitu?” Mama yang sedari tadi merasa dicuekin merasa kesal pada tingkah Radit. Mendecak kesal, beliau merasa Radit sama sekali bahkan tidak memperhatikannya.
“Radit!” teriak Mama saat Radit lagi-lagi tidak merespon ucapannya.
Radit tersentak. Hampir saja ponsel kesayangan jatuh dari genggaman. Dengan menggerutu ia menyusul Sang Mama menaiki eskalator. Entah kemana lagi tujuan mereka kali ini. ia sudah pasrah diseret kesana kemari oleh Mamanya.
“Bukannya Mama udah tau Radit ada janji sama Aini?” Radit mulai melancarkan protesnya. Ia merasakan kesemutan di tangan kirinya karena terlalu lama membawa barang belanjaan. Sesekali diliriknya tampilan angka besar di layar ponselnya, waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 sore. Seharusnya ia sudah bertemu dengan Aini 45 menit yang lalu. Tapi Mamanya dengan keras kepala malah mengajak dia pergi ke Mall.
Mumpung disini pengen berduaan saja, kata Mamanya.
Apakah Aini masih menunggunya? Radit tak yakin. Akan lebih baik jika Aini tidak menunggunya. Tapi jika memikirkannya lagi, ia sebenarnya merasa sedikit kecewa jika itu benar-benar terjadi.
“Apa salahnya sih, telat dikit? Toh kamu juga udah ngabarin kalo lagi keluar sama Mama, kan? Kalian masih bisa ketemu lain kali, tapi Mama kan gak bisa setiap saat ketemu gini sama kamu?”
“Radit kan udah janji mau temenin Mama besoknya?”
“Duh, kamu ini ngeyel amat sih. Apa kamu lebih milih perempuan itu daripada mamamu sendiri?”
Radit terdiam. Mamanya selalu saja mengeluarkan kata-kata itu untuk membungkamnya, karena beliau tahu Radit takkan bisa berkata tidak pada bila beliau sudah berkata begitu.
Sial!
Radit tak berniat menyumpahi mamanya, tapi ia semakin kesal mengetahui Mamanya malah memasuki toko lain. Kali ini toko perhiasan.
Apa kali ia berniat membelikan Aini? Sepertinya Mamanya tak seburuk yang selama ini dipikirkannya.
“Duh, bagusan mana ya?” mama menggumam, alisnya berkerut, menunjukkan ekspresi kebingungan saat menatap deretan gelang emas dengan bandul yang mungil dan unik.
“Yang itu bagus, Ma. Lucu.” Radit menunjuk ke gelang berhiaskan bandul matahari dan permata kecil berwarna merah. Aini pasti akan suka. Gelang itu sangat cocok dengan kulitnya yang cerah.
Radit tersenyum puas memandang mamanya yang akhirnya memutuskan membeli gelang itu. Ternyata beliau masih sayang Aini.
‘Bagus sekali. Pasti cocok kalo Pipit yang pakai’ Mama tersenyum membatin, kedua matanya berbinar memandang gelang dengan bandul matahari itu.