"Erieka! Buka pintu!”
“Keluar! Jangan coba-coba kabur kabur lu ya!”
Ellis terkejut mendengar teriakan teriakan itu. Ia menjatuhkan lipstik yang dibawanya dan bergegas pergi ke jendela. Matanya mengintip ragu ragu dari balik kain korden. Ellis terperanjat, dari balik pintu, samar-samar terlihat bayangan tiga orang. Mereka berteriak marah, menggedor, bahkan sampai menendangi pintu. Nyali Ellis seketika ciut mengingat ia harus menghadapi tiga orang kasar itu.
“Heh, keluar loe, Erieka!” Suara itu menjadi semakin kasar karena tak kunjung mendapati seorang penghunipun keluar dari rumah itu. mereka menjadi semakin kasar menendangi pintu rumahnya.
Di dalam rumah, Ellis mondar mandir gelisah di ruang tamu. Ia takut bila membuka pintu, orang orang kasar itu akan menjadi semakin kalap. Padahal ia sama sekali tak mengenal mereka.
Tapi orang orang itu tak hentinya meneriakkan nama Erieka. Ya, Erieka. Pasti perempuan itu membuat masalah lagi, batin Ellis kesal. Dasar perempuan tua, tak tahu diri! Ellis terus merutuki Erieka sementara hatinya sendiri was was mendengar teriakan kasar orang orang itu.
Ellis mulai menghitung dalam hati. Tangannya gemetar ketika mencoba membuka kenop pintu.
1 … 2 … 3 … pintu terbuka.
Di luar pintu, telah berdiri tiga orang lelaki. Dua diantaranya berbadan kekar, sedangkan seorang lagi bertubuh tidak terlalu kekar, namun cukup berisi. Ia berdiri di depan dua yang lain, agaknya ia adalah pemimpin mereka. Ketiga orang itu berpakaian layaknya preman jalanan.
“Ma, maaf, Erieka tidak tinggal di sini,” Ellis menjawab dengan terbata bata, sementara unjung matanya menatap takut takut para preman itu. Jemarinya bergerak resah. Sebentar memainkan rambut, lantas menarik narik ujung kemeja merahnya beberapa detik kemudian. Tanpa sadar ia semakin melangkah ke belakang. Merasa terintimidasi.
“Heh! Jangan bo’ong lu ya? Erieka yang ngasih alamat ini sama bos kami!” seorang preman yang di belakang maju. Ia menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Ellis.
Ellis Manahan napas. Bau keringat menguar dari tubuh preman yang memakai kaos oblong warna abu-abu serta jeans belel itu. saking belelnya sampai sampai jeans itu hampir terpisah antara bagian atas dengan bawah karena sebuah robekan yang menganga lebar di lutut.