Aku bahkan jauh lebih cantik daripada wanita itu.
Erieka mendesah kesal. Direbahkannya tubuh di salah satu sisi kasur. Sejak pergi dari rumah Ellies, dia hanya bisa tinggal di kamar kos kecil yang hanya memuat sebuah kasur dan lemari.
“Kamu wanita yang paling cantik.” Dulu, Henry selalu berkata itu. Di café saat makan siang atau di dalam mobil pria itu.
Saat itu, Erieka akan tertawa cekikikan mendengarnya. Bukan suatu tawa yang anggun, namun paras cantik itu menyelamatkannya dari ketidakanggunan.
Dan Henry tidak pernah keberatan dengan tawa itu. Ia akan terus membisikkan kalimat itu agar bisa selalu mendengar tawanya.
Henry mengeluarkan sesuatu dari dalam saku, genggaman tangannya terbuka tepat di depan Erieka. Gadis itu terperanjat, lantas terpekik senang beberapa detik kemudian. Segera diangkatnya rambut tinggi-tinggi, dan disodorkan leher jenjangnya.
Henry dengan sigap memakaikan benda itu.
“Kalung yang sangat cantik.” Erieka mendesis senang. “Apakah berlian asli?” ia tak henti menatap kalung yang melingkari lehernya seraya terus bertanya.
“Tentu. Secantik kamu. Suka?” Henry tersenyum memandangi kalung itu.
“Sangat. Kemarin aku sempat melihat beberapa kalung seperti ini di sebuah toko perhiasan. Ya Tuhan, kalung-kalung itu sungguh cantik, dan terbuat dari berlian asli! Tapi saat itu aku tahu aku takkan sanggup membelinya, jadi aku hanya melihatnya saja. Dan sekarang kau sungguh membelikannya untukku. Tentu aku sangat senang!” Erieka terus mengoceh sembari melihat kalungnya dari balik spion mobil.
Kalung itu berkilauan di malam yang gelap dan udara mendadak terasa begitu menggigil.
Henry tersenyum. Direngkuhnya tubuh gadis itu, sebuah ciuman mendarat di leher jenjangnya.
Erieka menggelinjang kesenangan.
“Maukan jadi istriku?” rambut ikal itu tersibak, Henry membisikkan sebuah kalimat. Anting-anting itu bergoyang terkena hembusan nafasnya.
Erieka terkejut. Kedua bola matanya membulat tak percaya. Tubuh pria itu sontak terdorong hingga beberapa senti ke belakang.
“Apa??” Erieka masih membutuhkan penegasan atas apa yang didengarnya barusan.
“Menjadi istriku? Apa kau tak mau?” Henry tertawa kecil seraya mengulang permintaannya.
“Bagaimana dengan Mbak Ratmi?” Erieka menyebut nama seorang wanita. Tapi ekspresi pria di hadapannya itu sama sekali tak berubah mendengar nama itu disebut.
“Mengapa dia harus tahu?” Henry tertawa geli. Dia kembali membelai rambut Erieka. Rambut ikal bergelombang itu sungguh lembut ketika disentuh. “Aku ingin sekali memanjakan kecantikanmu ini,” bisiknya lagi.
Kali ini Erieka tidak lagi memperdengarkan tawanya. Bibir tipis itu menyunggingkan senyuman manis sebagai gantinya.
“Tentu. Aku mau,” Ia melonjak kegirangan. “Tapi aku mau bilang Bapak Ibu dulu. Kau mau menunggu, kan?”
“Tentu, sayang.” Henry tersenyum sebelum melajukan lagi mobilnya. seharusnya saat itu Erieka sudah sampai di rumah. Tapi Henry membawanya kembali ke sebuah restoran untuk makan malam.