“Jadi kapan rencananya?” Devan bertanya penasaran, pagi itu ia memutuskan mengunjungi Ibunda sebelum berangkat kerja.
“Apanya?” Aini berkata cuek. Matanya tak beralih dari layar di hadapannya. Sesekali tekikik membaca pesan BBM.
“Kamu dan Radit … .“ Devan mendekati adiknya sembari membawa secangkir kopi yang telah dibuatkan Lolita, istrinya.
Dia meraih koran yang tergeletak di atas meja ruang tamu dan membolak balik halamannya. Di salah satu halaman koran itu tertulis sebuah headline besar ‘PENCURIAN’. Ia baru saja akan membacanya ketika mendengar Aini berkata,
“Sesegera mungkin, Mas. Mumpung ga ada dia.” Aini mengalihkan pandangan lantas menunjukkan cengiran lebar ketika Devan menatapnya heran.
“Serius?” Devan mulai tertarik dengan jawaban Aini. Ujung alis kirinya terangkat membentuk ekspresi jenaka.
“Duarius malah. Aku terlanjur sakit hati sama dia. Moga aja tu orang ga bakal balik lagi ke rumah ini!” Aini berdecak kesal. Perhatiannya kembali teralih ke smartphonenya. Kue bolu yang tadi dibawanya hampir tidak tersentuh sama sekali.
Devan mencomot kue bolu itu satu, lantas memakannya lahap. Ia melewati bagian ‘pencurian’ di halaman tadi dan beralih ke halaman budaya. Ada cerpen yang biasanya muncul setiap hari minggu, dan ia menyukai tulisan salah seorang cerpenis itu.
“Huss … ga boleh nyumpahin orang kayak gitu … “ Ia berusaha tetap terdengar bijak, “tapi semoga saja doamu terkabul,” gelaknya kemudian. Beberapa kunyahan kue bolu meluncur bebas dari mulutnya. Menciprati sebagian halaman koran di hadapannya.
“Ihhh … jorok.” Aini menatapnya jijik, tapi tak urung tertawa juga mendengar ucapan Devan.
“Dari semua orang yang pernah kutemui, dialah yang paling kubenci.”
Aini tertegun mendengar perkataan itu. Devan terdengar begitu serius. Biasanya kakaknya tak ambil pusing dengan yang dilakukan orang lain. Tapi ia tahu, Erieka telah banyak membuat masalah, dan peristiwa beberapa minggu lalu adalah yang paling menyakitkan.
“Aku tak pernah setuju dengan acara lamaran ini!”
Aini masih ingat dengan jelas bagaimana ucapan Erieka waktu itu, beberapa jam sebelum acara pertunangannya dimulai.
Dia melempar salah satu bahan makanan yang dibawa Lila hingga berhamburan ke lantai. Makanan tidak jadi disajikan, kerja mereka jadi bertambah karena sekarang harus membersihkan rumah.
“Kami tak pernah meminta persetujuan mbak!” Devan menyahut dari ujung ruang makan. Tangan kanannya sedang menggendong Keenan. “Aini sudah terlalu lama menunda pernikahannya hanya untuk orang macam mbak!” Devan menyerahkan Keenan pada Lolita, istrinya, lantas berjalan menghampiri Erieka.
“Suka ato nggak, Aini akan tetap menikah, meski tanpa persetujuan mbak.”
“Pokoknya acara ini tidak akan berlangsung!” Erieka berlari menghampiri meja, hendak menumpahkan segala makanan yang telah tersaji di atasnya. Lila yang ada di dekatnya mencoba menghalangi. Erieka menjadi semakin gila, ia mencoba menendang perut Lila yang tengah hamil 4 bulan.
Dari jauh, Mila berteriak.
“Kamu gila ya?! Harusnya kamu itu ngaca, emang siapa kamu sampai kami harus minta ijin dulu ke kamu, hah?! Udah biang rusuh, bisanya cuma nyusahin Ibunda aja!”
“Ngomong apa kamu barusan, hah?! Ayo, ngomong lagi! Biar kusobek mulut lancangmu itu!” Erieka berlari menghampiri Mila. Matanya memerah, siap menantang siapapun yang mencoba menghalangi.
Tidak berapa lama, mereka pun terlibat pertengkaran sengit. Erieka menarik kasar jilbab Mila, menimbulkan luka di dagu bawahnya karena goresan jarum. Mila langsung mencakar lengan Erieka. Keduanya sama berteriak dan menjerit. Beberapa orang datang untuk melerai mereka. Budhe Yah, kakak Ibunda yang kebetulan berada di dekat Erieka langsung menariknya menjauh, sedangkan Devan dan Lila menarik Mila ke arah berlawanan. Serapah masih meluncur dari mulut keduanya.