Surabaya, pukul 10.00 WIB
Ellis memandangi wanita paruh baya itu dengan penuh keheranan. Ia tahu betul siapa wanita tua itu, namun tidak mengerti bagaimana beliau bisa sampai ke rumahnya.
“Darimana Ibu tahu alamat rumah saya?” Ellies berkata tanpa menatap wajah beliau sementara tangannya sibuk menyuguhkan secangkir teh.
Wanita itu, yang sedang duduk di hadapan Ellis, tersenyum singkat. Lantas mengangguk perlahan ketika secangkir teh mulai disuguhkan.
Beliau berkata kemudian, suaranya terdengar mantap dan tegas.
“Dari surat kabar. Ibu ingat kamu dulu sahabat Erieka semasa kuliah dulu, kan?”
“Wah, terkenal dong yah Erieka sekarang?” Ellis berkata sinis. Sebenarnya ia tidak bermaksud bersikap tidak sopan pada Ibunda Erieka, namun kebencian membuatnya tak bisa mengendalikan diri lagi.
Ibunda terdiam, berusaha memaklumi sikap Ellis. Beliau mengucap istighfar beberapa kali dalam hati untuk meredam emosi yang bergejolak.
“Kamu pasti tahu alasan Ibu kesini, Lis. Ibu ingin … .”
“Tak semudah itu, Bu.” Ellis memotong perkataan Ibunda, lantas melanjutkan dengan penuh emosi, “saya menerima dia di sini dengan tangan terbuka. Tapi sikapnya sungguh mengecewakan. Dan yang paling menyakitkan, Erieka mencuri perhiasan hasil kerja keras saya selama ini! Dia itu perempuan yang tak tahu diri! Saya tak tahu akan berbuat apalagi andai bertemu dengannya suatu saat nanti.”
Ellis membuang pandang, menjauhi tatapan Ibunda yang menghiba. Sebenarnya dia tak tega melihat wanita setua itu bersedih. Tapi kebenciannya pada Erieka mengalahkan nurani.
Ellis meneguk cangkir teh miliknya. Jemarinya gemetar karena terkaan emosi yang melanda.
Air mata nampak menggenang di sudut mata Ibunda. Tapi Beliau menahannya agar tak tumpah di hadapan Ellis. Melihat wanita di hadapannya tak goyah dengan permintaannya, Ibunda hanya bisa memasrahkan semuanya kepada Allah.
“Nak Ellies,” Ibunda menggenggam jemari Ellies, penuh kelembutan layaknya seorang ibu kepada anaknya, “ibu mohon maafkanlah Erieka. Bagaimanapun juga, dia menjadi seperti ini juga karena kesalahan Ibu mendidiknya. Ibu akan mengganti seluruh kerugian Nak Ellis, asalkan Nak Ellis bersedia mencabut gugatan itu.”
Selama beberapa menit lamanya Ellies hanya sanggup terdiam. dia mulai tak yakin akan keputusan yang telah diambilnya. Sembari menatap jemari ibunda yang menggenggam erat tangannya, Ellis terbata-bata menjawab permintaan Ibunda,
“Umm … Biarkan Ellis pikirin dulu, Bu.”
***
Polsek Diponegoro Surabaya. Suatu pagi.
Erieka terpekur di pojok ruangan. Kedua lututnya tertekuk hingga ke dada. Punggungnya bersandar ke dinding penjara yang pengap. Beberapa cat sudah mulai mengelupas. Sepertinya, sinar matahari jarang mengunjungi tempat itu.
Di ruangan berukuran 4 x 4 itu, Erieka terpaksa berdesakan dengan beberapa napi wanita lainnya. Diantara mereka ada yang memandangnya penuh kecurigaan, tak jarang tatapan sinis pun terlontar ketika ia memberanikan diri menatap mereka.
Apa yang telah mereka lakukan? Membunuh? Menganiaya? Atau mencuri sama seperti dirinya?
Tapi Erieka tak pernah berani bertanya langsung kepada mereka, bisa saja ia malah akan menjadi pelampiasan atas nasib buruk yang telah mereka terima.