"Mbak Aini?"
Aini menoleh. Seorang pria berambut auburn dan kulit putih tengah menatapnya dengan raut muka keheranan.
Alis Aini mengernyit, merasa asing dengan sosok yang baru saja menyapa. Tapi pria itu terus saja tersenyum menatapnya. Hingga beberapa detik kemudian Aini menyadari betapa bodoh dirinya karena sudah melupakan wajah itu.
"Ah, Mas yang membawa ibu saya kemari, kan?" Seulas senyum tersungging di wajah ovalnya, "Mas ... ."
" Zulfikar. Panggil saja Zul, " pria itu beringsut mendekati Aini, menyodorkan telapak tangan kanannya untuk bersalaman.
Aini tersenyum. Menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Bukan apa-apa, Aini hanya merasa tidak nyaman bersentuhan dengan pria selain muhrimnya.
Zul tersenyum kecut menghadapi penolakan itu. Biasanya justru para perempuan yang berebut ingin menyentuh dirinya. Tapi Aini malah secara terang-terangan menolak itu.
Berbeda, batin Zul.
"Boleh saya duduk di sini?" Tanya Zul kemudian. Menatap penuh harap pada ruang kosong di bangku panjang yang diduduki Aini.
"Ah, silakan." Aini menggeser posisi duduknya hingga ke ujung bangku, sehingga Zul bisa duduk di ujung bangku yang lain.
Aih, malah kayak orang musuhan gini. Zul sedikit mencelos melihat jarak yang cukup lebar antara dirinya dan Aini.
" Tapi darimana Mas tahu nama saya?" Tanya Aini begitu Zul mendaratkan pantatnya di bangku panjang itu.
" Ah maaf, saya mendengar kakak anda memanggil Mbak begitu." Zul tertawa. Canggung. Sebelah tangannya menggaruk lehernya yang sama sekali tidak gatal. Kebiasaan kecil saat ia merasa bersalah atau gugup.
"Ah iya, itu kakak saya. Mas Devan." Aini tertawa renyah, memperlihatkan deretan gigi putih dengan gingsul yang bertengger manis di sebelah kiri.
Bener kan, kakaknya ternyata, batin Zul. Tanpa sadar ia merasa sedikit lega mengetahui tebakannya benar. Laki-laki yang bersama Aini kemarin memang benar kakaknya.
"Mbak kok duduk sendirian di sini?" Ingin lebih berlama-lama, Zul mencoba membuka topik obrolan.
" Kenapa? Ndak boleh?" Tanya Aini penuh selidik. Meskipun tahu pria itu hanya mencoba berbasa-basi saja, tapi ia tak tahan untuk tak menggodanya.
"Ah bukan, maksudnya gak gitu ... ," gelisah, Zul menggaruk lehernya lagi mendapat tudingan pertanyaan dari Aini.
Tiba-tiba saja perempuan di sampingnya itu tergelak. Di antara kelengangan suasana sore hari di taman rumah sakit, suara tawa Aini bagai harmoni musik yang indah. Setidaknya, bagi Zul.