Aini sungguh tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sepanjang hari Radit bersikap aneh dan mendiamkannya. Sekalipun bersuara, itu hanya jawaban-jawaban pendek dari pertanyaannya.
'Berangkat dari kantor jam berapa, Mas?'
'Jam 5.'
'Pasti capek banget ya? Jam segitu kan macet-macetnya.'
'Iya.'
'Udah makan tadi?'
'Udah di kantin.'
Ugh! Nyebelin banget! Rutuk Aini dalam hati. Jujur inilah yang paling dibencinya dari Radit. Pria itu tak pernah mengatakan terus terang apa yang menjadi masalahnya. Dan sekarang sakit kepalanya seakan bertambah dengan perihal kepulangan kakaknya, Erieka, ke rumah.
"Erieka minta maaf, Bunda. Hu … hu … ,"
Bahkan di depannya, airmata yang mengalir dari kedua mata itu sama sekali tak bisa menggerakkan hatinya. Dulu, perempuan itu selalu melakukan hal yang sama. Entah sudah keberapa puluh kali sekarang. Dengan airmata yang sama, permintaan maaf yang sama, namun kesalahan yang sama akan kembali terulang tak berapa lama kemudian.
Dan Aini sungguh muak menghadapinya.
Dia bahkan sama sekali tak malu melakukannya di hadapan orang asing.
Dilihatnya Erieka sedang memeluk Ibunda sekarang. Airmata membasahi pakaian rumah sakitnya.
Bunda masih terbaring lemah di atas ranjang, sedangkan perempuan itu bahkan tidak menanggung separuh dari sakit yang dirasakan Ibunda.
Sejujurnya, hati Aini sedikit dongkol. Harusnya Erieka juga menanggung rasa sakit yang dialami Ibunda.
"Ini semua memang salah Erieka! Hu … hu … "
Erieka menyusut ingus yang keluar dari hidungnya. Ibunda masih terbaring lemah di atas ranjang. Beliau hanya menanggapi tangisan Erieka dengan airmata yang juga mengalir dari kedua mata serta bibir yang tak mampu berkata-kata.
"Mbak juga minta maaf sama kalian. Devan, Mila, Lila, dan juga Aini." Kali ini Erieka menghampiri keempat adiknya.
Devan melengos menanggapinya, sesekali dialihkan pandangannya ke luar jendela. Mila beruntung karena ia bisa kabur setelah berkata akan ke toilet. Sedangkan Lila sangat gondok melihat Erieka sekarang.
Dan Aini tak tahu ekspresi seperti apa sekarang yang tergambar di wajahnya. Senangkah? Jengkel kah? Marah kah? Ia juga tak tahu harus berkata apa dan bersikap bagaimana.
"Ibu memaafkanmu, Nduk."
Hanya suara Ibunda yang memecah kecanggungan di antara mereka.
Bola mata Erieka terlihat berbinar. Jemarinya menggenggam tangan Ibunda yang masih dihiasi jarum infus.
"Benarkah?" Disekanya setitik air di ujung matanya. "Apakah Erieka juga boleh kembali ke rumah?"
Kedua mata Aini membulat. Neraka akan kembali, batinnya. Dalam hati ia merapal doa agar bunda menolak permintaan itu, meskipun ia tahu itu adalah hal yang sama sekali mustahil. Bunda tak mungkin akan menolaknya.
Aini tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang mempunyai wajah setebal itu.
Seperti tak ada urat malunya.
Mengesampingkan luka-luka Erieka, meskipun sempat terbersit sedikit rasa kasihan melihat kondisinya, tapi Aini sama sekali keukeh tak menginginkan Erieka kembali ke rumah.
Karena bukan tidak mungkin peristiwa yang sama akan terulang lagi.
'Orang seperti Mbak Erieka, berapa kali pun kesempatan dan maaf yang diberikan, dia akan selalu membuangnya sia-sia seperti seonggok sampah.'