Ada mendung bergelayut.
Bukan di langit maupun awan-awan di atas sana, tapi mendung itu begitu kental menggelayuti pemilik sepasang mata bermanik hitam di hadapannya.
"Aini?" Panggilnya pelan, penuh kehati-hatian, khawatir perempuan di depannya akan terganggu bila ia menaikkan nada suaranya meski sedikit saja.
Namun sepertinya ia mengkhawatirkan sesuatu yang tak beralasan, karena perempuan itu tidak bergeming sekalipun dari tempatnya, pun menoleh padanya.
"Mbak? Mbak Aini?" Zul menggerak-gerakkan tangannya di hadapan Aini, mencoba menarik perhatiannya. Namun hal yang sama kembali terulang. Perempuan itu begitu diam, seakan sesuatu sedang merasuki pikirannya, membentenginya dari dunia luar.
Zul menarik napas panjang, diam-diam memperhatikan wajah sayu dan sepasang kelopak mata yang memerah karena terlalu banyak menangis.
Apakah karena dia terlalu mengkhawatirkan keadaan ibunya? Tapi dokter bilang kondisi beliau sudah lebih stabil dan bisa pulang dalam waktu dekat. Lantas kenapa? Apa yang menyebabkan kesedihan di wajahnya yang ayu itu?
"Ehem!" Ia berdehem keras. Sesekali ekor matanya melirik Aini, sekadar memastikan reaksinya.
Aini tersentak, suara deheman keras membuyarkan lamunannya. Ditolehnya sumber suara, Zul berdiri membelakangi matahari sedang menatapnya aneh. Bias sinar matahari yang menyusup dari rerimbunan dedaunan menerpa kemeja biru lautnya. Menciptakan pemandangan yang anehnya begitu menawan serta misterius di matanya. Rambut auburn lelaki itu bergerak-gerak di dahinya tertimpa angin, membiaskan siluet kecoklatan dari sinar matahari di helaian rambutnya.
"Mbak gapapa?" Tanya Zul, raut wajahnya melukiskan kecemasan.
Nah, kan! Ia memanggil 'mbak' lagi. Aini mencelos dalam hati. Tanpa sadar ia mengerutkan bibirnya kesal.
"Kan udah dibilang … "
"Panggil Aini saja kan?" Sahut Zul tepat. Ia tergelak saat menyadari ternyata dugaannya benar.
Pipi Aini memerah. Wajahnya terasa seperti terbakar. Ia merasa seperti perempuan dewasa yang merajuk hanya karena masalah sepele. Terlalu kekanakan. Ia pasti sekarang tampak lucu di hadapan pria itu.
Zul terdiam memandang Aini. Dengan panik, dialihkan pandangan ke koridor rumah sakit. Mencoba menghitung berapa banyak orang yang berlalu lalang sepagi ini. Meski kenyataannya tidak begitu banyak orang yang bisa ia hitung.
Aduh! Mengapa hatinya harus berdegub kencang saat melihatnya? Ia yakin wajahnya sekarang pasti tak kalah merahnya dari udang rebus saat ini.