"Makanan rumah sakit emang nggak enak!" Erieka menggumam kesal. Baru lima menit yang lalu petugas rumah sakit membawakan makanan untuknya, namun sekarang nampan berisi sayur, nasi, beberapa potong daging semur, dan buah pisang itu tergeletak begitu saja di atas meja. Tak tersentuh lagi. Sekalipun dimakan, itu hanya satu suapan sendok saja. Selebihnya, utuh.
Sayurnya hambar, aku gak suka sama nasi dan dagingnya. Buah pisang? Euh, aku pengennya makan apel! Batinnya mengeluh dongkol seraya melipat tangan di depan dadanya.
Erieka memandang sekeliling ruangannya. Ia merasa bosan setengah mati. Di dalam ruangan yang dikelilingi dinding putih ini, ia selalu sendirian. Tak satupun dari adiknya yang mau menjenguknya. Sekadar menanyakan keadaan pun tidak.
Dasar adik-adik kurang ajar! Padahal ia sudah menurunkan harga dirinya sedemikian rupa demi meminta maaf pada mereka, dan sekarang apa yang ia terima? Mereka bahkan tidak menganggapnya sama sekali.
Lain kali ia takkan membiarkan mereka begitu saja.
Tapi meski begitu, ia masih beruntung karena lelaki itu setidaknya datang mengunjungi dan menanyakan keadaannya. Lelaki berkulit cerah itu dan rambut yang tampak mencolok dibanding orang-orang lain di rumah sakit ini.
Memang sudah seharusnya begitu, bukan? Lagian gara-gara lelaki itu menabraknya, sekarang ia terpaksa dirawat di rumah sakit ini. Dan sepertinya, lelaki itu cukup kaya juga, mengingat perawatan kelas satu yang diterimanya bersama Ibunda.
Tidak buruk juga, pikir Erieka. Lantas mempertimbangkan, apakah sebaiknya ia mendekatinya atau tidak.
Huh, nggak bisa ngapa-ngapain, pengen makan makanan enak! Bosan! Sebal! Aku ingin cepat pulang!
Sambil terus merutuk dalam hatinya, Erieka memutuskan pergi keluar. Seingatnya, ia melihat bangku rumah sakit di depan ruangannya. Dan sepertinya tempat itu bagus untuknya mencari udara segar. Lagipula luka-lukanya tidak separah seperti yang dialami Ibunda. Jadi ia masih bisa, jika hanya untuk berjalan-jalan sendiri seperti sekarang ini.
Erieka bangkit. Segera dirapikannya pakaian serta rambutnya yang berantakan lantas dengan penuh semangat menyambut udara pagi yang masih segar di luar.
Hembusan angin yang dingin langsung menerpa wajahnya begitu ia membuka pintu. Tersenyum, diletakkan pantatnya pada salah satu bangku rumah sakit, seraya matanya mengawasi beberapa orang yang tengah beraktivitas.
Termasuk sepasang pemuda pemudi yang tengah berbincang tepat di depan ruangan Ibunda.
Alis matanya bertaut melihat mereka berdua. Seorang perempuan berbaju ungu muda dengan jilbab hitam dan seorang lelaki berambut auburn yang dikenalinya sebagai penabraknya.
Ah, siapa namanya? Oya, Zul. Dia bilang namanya Zulfikar.
"Aini?" ucapnya, begitu menyadari siapa perempuan berbaju ungu muda itu. Kedua bola matanya membulat lebar menemukan pemandangan menarik yang tersaji di hadapannya.
***
"Ai?"
Belum sempat Aini menoleh, sebuah tangan besar berkulit sawo matang langsung menyentuh dahinya dari belakang. Hampir saja ia menendang lelaki itu kalau saja ia tidak mengenalinya terlebih dulu.
"Mas Devan bikin kaget aja! Kirain siapa tadi!" Jengkel, Aini memonyongkan bibirnya beberapa senti ke depan. Dihempaskannya keras punggungnya pada sofa yang tengah diduduki. Di depannya, Ibunda tengah terlelap setelah sebelumnya seorang perawat datang untuk memeriksa tensi dan menyuntikkan obat.
Dan sekarang, ia tengah menenggelamkan diri ke dalam smartphone-nya. Bermain game, youtube, social media, dan membuka-buka beberapa aplikasi webtoon kesukaannya.