Aini terbangun saat merasakan guncangan keras pada bahunya. Kelopak matanya berkedip-kedip perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan pemandangan yang sama sekali berbeda dengan beberapa waktu lalu.
Mengapa ia bisa sampai di sini? Seingatnya ia berniat pulang sendiri malam ini, tapi kenapa ia malah semobil dengan seorang lelaki asing? Aini mengucek kedua matanya yang terasa panas, ia begitu mengantuk dan sama sekali tak memiliki tenaga untuk memikirkan itu semua.
"Benar di sini kan?" Lelaki itu sekali lagi mengguncangkan bahunya.
Aini mengerjapkan matanya memandangi lelaki itu. Kedua alis itu bertaut menatap Aini, pandangan matanya menyiratkan kekhawatiran.
Butuh waktu lama bagi Aini untuk sepenuhnya bisa menyadari siapa lelaki yang tengah membawanya pulang sekarang. Dadanya yang bidang tegap berbalut kemeja biru muda dan jas hitam. Mata kecoklatan yang menatapnya tajam dan rambut yang sudah sangat familiar baginya beberapa hari ini.
Ah …
"Mas … Zul?" Aini memandangnya linglung. Ia tiba-tiba saja merasa tubuhnya menggigil kedinginan. "Bukannya tadi aku pulang sendiri ya?"
Pertanyaan konyol. Sepertinya ia masih terjebak di alam bawah sadarnya.
"Ai lupa? Tadi kan Mas ngajak Ai pulang bareng. Tapi kamunya diam aja," Zul tersenyum. Aini bahkan lupa bagaimana ia bisa memaksa Aini pulang bersama.
"Ah gitu ya? Maaf ya Mas. Sepertinya aku masih linglung nih, karena ketiduran tadi." Dengan kikuk Aini meminta maaf. Sebenarnya ia merasa malu pada Zul karena sudah memperlihatkan sisi dirinya yang buruk saat ini.
"Iya, Mas paham kok. Ai gimana sekarang? Kuat jalannya? Badannya panas banget."
"Iya, gapapa kok. Ai masih kuat. Lagian udah di depan rumah juga kan?" Aini melangkah keluar mobil. Tubuhnya limbung sesaat begitu kakinya menginjak tanah.
Di depannya, Zul menatap dengan penuh kekhawatiran serta kewaspadaan. Tubuh lemah Aini seperti bisa jatuh kapan saja.
Pintu mobil menutup keras. Aini berdiri sembari tersenyum padanya saat berbicara,
"Makasih banyak ya Mas udah antar Ai pulang."
Zul tidak menjawab. Dia memandang Aini yang berlalu begitu saja menuju rumahnya.
Sepertinya sudah tidak apa-apa. Mungkin sekarang ia bisa pulang, batin saat Zul masuk ke dalam mobil.
Zul baru akan menyalakan mobilnya saat melihat Aini yang tengah berdiri di depan pagar rumahnya itu tiba-tiba saja terjatuh, lantas tak bergerak lagi. Kedua bola mata Zul membulat. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari menghampiri tubuh perempuan yang sudah tergeletak di atas tanah itu.
"Aini!!"
***
'Sudah pulang?'
Aini ingat, beberapa saat lalu ketika masih berada di rumah sakit, ia menerima sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Saat membukanya, ia setengah berharap pesan yang diterimanya itu berasal dari Radit. Tapi harapan itu seketika pupus begitu membuka pesan berikutnya :
'ini Zul, Ai. Tadi Mas Devan minta aku buat anterin kamu pulang.'
Huft …