Menggapai Surga Cintamu

Hanachan
Chapter #16

Chapter 16

Akhirnya pulang juga. Aku kembali lagi ke rumah ini.

Erieka mendesah senang. Raut wajah gembira terpancar jelas di wajahnya. Senyumnya tak bisa berhenti mengembang meski ia menerima tatapan menusuk dari empat pasang mata di belakangnya. 

Tak masalah. Toh akhirnya aku bisa juga kembali ke rumah ini.

Rumah yang sangat dirindukannya. Dengan interior yang sama sekali tak berubah sejak beberapa bulan ia meninggalkannya. Dengan aroma yang sama. Dengan segala perabot yang familiar baginya selama bertahun-tahun. 

Dan sekarang ia hanya perlu memastikan satu hal lagi. Kamarnya. Erieka sudah tak sabar lagi. Penuh semangat, diseretnya tas koper yang penuh sesak dengan barang-barangnya itu menuju ke kamar.

Aku juga orang sakit di rumah ini, tapi mereka sama sekali tak membantuku.

Di depan pintu kamarnya, Erieka menoleh. Ia dapat melihat dengan jelas ruang tamu dari arah kamarnya. Tiga orang berjalan perlahan memasuki ruang tamu. Aini menggandeng lengan Ibunda, lantas mendudukkan beliau di sofa empuk berwarna cokelat muda. Dengan cekatan ia berlari melewati Erieka, menuju ke dapur lantas mengeluarkan beberapa cangkir dan sekotak teh seduh aroma melati dari dalam lemari. Sedangkan Devan tengah sibuk mengangkuti barang-barang Ibunda dari dalam mobil.

Tapi Erieka tak perlu memedulikan mereka semua, sebagaimana mereka juga yang sama sekali tak memedulikannya. Sekarang ia hanya perlu menikmati kembali apa yang sudah ditinggalkannya berbulan-bulan lalu. Lebih tepatnya, terpaksa ditinggalkan.

Cklek! Pintu kamar terbuka lebar begitu ia memutar kuncinya. Di dalam, sinar matahari menerobos paksa melalui celah-celah gorden coklat tua yang menutupi jendela kaca. Sebuah kasur berukuran single dengan seprai berwarna soga masih berada di tempatnya, tidak bergeser barang se-inchi-pun. Di samping kasur terdapat sebuah meja rias berwarna putih gading dan almari yang terbuat dari kayu jati. 

Semua sama. Hanya saja pantulan dirinya di kaca tidak lagi menunjukkan sosok yang sama.

Sudah berapa lama? Kira-kira turun berapa berat badannya hingga ia menjadi sekurus itu? 

Erieka memandangi pantulan dirinya di cermin, sekali-kali memutar tubuhnya dan membandingkan pinggangnya dengan kemeja katunnya yang terasa semakin longgar. Sepertinya ia membutuhkan asupan nutrisi yang banyak. Dan dengan hanya memikirkan itu saja sudah membuat perutnya berkeriuk keroncongan. 

Pantas lapar, belum makan dari pagi. Dan sekarang sudah hampir pukul satu siang.

"Bun, mau pesan makanan apa? Tadi ga sempet masak, biar aku pesenin pake go-food aja." Terdengar suara Aini dari kejauhan. Cangkir-cangkir berisi teh hangat manis sudah diletakkan di depan meja ruang tamu.

"Ibu sih lagi kepingin makan pecel." Ibunda menyahut, setelah sebelumnya menyeruput teh hangat di depannya.

"Aku juga dong , Ai," Devan, yang baru masuk sambil membawa tas besar berisi beberapa potong pakaian langsung menyahut. Dengan segera diminumnya teh hangat yang tersedia begitu ia meletakkan tas itu.

"Boleh. Tapi mas Devan yang-"

"Aku juga, Ni!" Erieka menyahut dari dalam kamar. Erieka tahu mereka tidak menyukainya, dan sekarang ia seolah bertaruh apakah mereka akan juga membelikannya apa tidak.

Ah, mana mungkin! Paling juga dicuekin lagi. Erieka tersenyum sinis. Kedua matanya sibuk menghitung berapa perban yang melilit tubuhnya kali ini. Di tangan, kaki, dan beberapa plester luka di wajah. 

Ini buruk …

Tapi balasan yang diterimanya dari Aini ternyata tidak seburuk yang dikira.

"Ok. Beli buat 4 orang berarti ya."

Erieka terperanjat mendengar jawaban itu. Spontan ia melongokkan kepalanya keluar kamar, mencari si pemilik suara, mencoba memastikan apakah yang didengarnya itu nyata atau tidak.

Lihat selengkapnya