Bab 16
Jarak membutuhkan cinta
Namun cinta tak pernah memerlukan jarak
Karena tiap hati memandang dengan rasa
Melihat bersama tempaan jiwa
Sebab kerinduan semakin meruak
Pada sentuhan bernama cinta!
Danu mengendarai motornya dengan lesu. Hari itu semangatnya turun drastis. Tubuhnya lemas bukan kepalang. Mungkin karena dirinya kurang tidur atau memang belakangan hari, pola makannya mulai tidak teratur. Rencananya hari itu ia hendak libur kerja dengan alasan sakit saja. Namun kata Maman di kantor sedang banyak kerjaan. Gila, untuk kalangan bawah, bahkan buat libur sehari diluar hari minggu saja teramat sulit. Selalu dituntut oleh kerjaan, kerjaan dan kerjaan. Sialnya, kerjaan yang telah menyita banyak waktu itu, tidak juga membuat mereka kaya raya. Danu mendengus jika merenungkan hal itu.
Sudah lama ia menyimpan tekad untuk berwirausaha, menjadi seorang entrepreneur. Namun semua hanya sebatas impian belaka. Setidaknya untuk saat ini. Ia merasa masih belum memadai dari segi permodalan. Namun kata para pengusaha sukses, modal terpenting adalah niat dan tekad. Bahkan dengkul saja sudah cukup untuk modal. Ah, mengingatnya membuat Danu terperangah. Betulkah?
Danu sering membaca artikel tentang entrepreneurship melalui artikel online. Biasanya, seperti lelaki pada umumnya, maka berita tentang sepak bola adalah yang banyak dibaca. Begitu pula bagi teman-teman Danu, kurang berminat dengan berita lain. Namun Danu salah satu kekecualian itu.
Laju motor Danu berhenti didepan konter pulsa dimana Noni bekerja disana. Konter yang lumayan besar dengan fasilitas cukup lengkap tersebut, pagi itu belum terlalu ramai. Danu turun dari kendaraannya. Ia mengerenyitkan kening saat tak ada Noni disana. Padahal ia paling suka membeli kuota dan Noni yang melayaninya. Kabar dari karyawan lain, rekan kerja Noni, kalau perempuan tersebut sudah dua hari tak masuk kerja. Katanya sih sakit. Danu hanya mengangguk saja. Padahal hatinya sudah gereget ingin segera menghubungi Noni. Bukan hal yang sulit sebenarnya. Ia pernah meminta nomer ponsel Noni saat dulu ia berutang uang padanya.
Kabar dari teman-teman Noni, kalau Noni tinggal di Antapani. Ah, tidak terlalu jauh.
“Mau beli kuota yang berapa, Kang?” bertanya Asep, pengelola konter, bisa dibilang atasan dari Noni. Danu tersenyum. Tentu saja Asep tak tahu dengan kebiasaannya membeli paket kuota. Danu terbiasa dilayani oleh Noni. Sejenak Danu merogoh saku jaketnya. Ia mengerenyitkan dahi. Mencari ponselnya di saku celana, juga tak ditemukan. Saku kemeja juga sama, nihil. Mengobrak-abrik isi tasnya, tetap serupa. Ponsel tak ada dimana pun. Memucat wajah Danu.
“Kenapa Kang?” Asep bertanya sambil memandangi Danu.
“Kayaknya ponselku gak ada,” keluh Danu.
“Terjatuh? Dijambret orang? Atau mungkin ketinggalan dirumah Kang?” ujar Asep. Danu mencoba mengingat. Matanya terpejam dengan pikiran berkecamuk dan serta-merta mengurai kronologis, sejak dirinya bangun dari tidur hingga sampai ke depan konter itu. Danu mengingat dengan kuat. Sialan, yang ada malah wajah Sari yang menari-nari dalam benaknya. Danu mencoba mengenyahkan. Kembali lagi senyum Sari yang teramat manis tergambar jelas dipelupuk matanya. Danu merutuk. Kembali ia mencoba mengingat.
“Kopi dulu biar gak panik, Kang.” suara Asep membuyarkan semua tentang Sari yang merekat kuat dipikiran Danu. Danu beberapa kali mengerjapkan sepasang matanya. Ia menghembuskan napas dengan berat. Ia melihat Asep sedang menyeruput kopi. Danu duduk di kursi teras konter, terhalang oleh etalase, berhadapan dengan Asep.
“Bikinin kopi deh. Nanti aku bayar.” desah Danu. Asep terkekeh. Ia sebentar meninggalkan Danu. Beberapa karyawan lain sedang menyapu dan membersihkan beberapa elemen konter yang dirasa cukup kotor. Ada juga yang sedang melayani pembeli pulsa. Karyawan di konter itu seluruhnya ada tujuh orang, termasuk dengan Noni. Asep adalah seorang yang dipercaya sang owner untuk mengelola konter tersebut.
“Ini kopinya. Gak usah bayar, Kang.” ujar Asep seraya menyimpan segelas kopi yang masih mengepulkan uap panas diatas etalase kaca.