Penutup
Perceraian akan membuat luka
Bagi yang masih mencinta
Tak ada lagi rasa memiliki
Meski rindu dipendam sendiri
Padahal cinta masih berkobar
Sebesar api yang membakar
Ilalang liar yang terus tumbuh
Walau hingga ke akarnya penuh peluh
Tercerabut dan kembali tumbuh
Tetap tumbuh dan terus bertumbuh!
Maman yang kembali menelepon Danu.
“Ya, halo. Ada apa, Bro?” bertanya Danu. Ia masih duduk di teras sebuah toko, pada anak tangga kedua. Posisinya tepat dibelakang sebuah etalase kaca yang berisi sepatu lokal original, terpampang penuh estetika disana. Didepan Danu pedagang kaki-lima berderet, menyajikan beragam jualannya.
“Kayaknya, kamu yang kesini deh, Bro. Aku males harus kesana. Jalur Cicadas tempatmu sekarang kan satu arah…”
“Ya terus kenapa kalau satu jalur. Kamu kan bisa lewat jalan tikus. Sedikit memutar, memotong jalan kesini,” potong Danu.
“Bener Bro. Tapi persoalannya, disini ada kue balok. Masih hangat lagi.” ujar Maman dengan suara yang tidak jelas. Sepertinya, mulut lelaki itu tengah mengunyah sesuatu. Danu mendengus.
“Posisimu dimana?” meski kesal, Danu bertanya. Jika ia tak punya keinginan untuk tinggal sementara di rumah kontrakan Maman, takan sudi ia meneruskan percakapan, dan akan segera menutup telepon begitu saja. Maman inkonsisten. Danu sudah Shareloc, tetap saja diabaikan. Tiada guna. Dasar keparat. Maki Danu membatin.
“Aku ada disekitaran pasar Cikutra…” sahut Maman.
“Letak tepatnya, Bro?” jengkel Danu.
“Tak jauh dengan SDN 027, Depan toko yang menjual tembakau dan lain-lainnya.” jawab Maman. Bahkan sebelumnya tadi, ia sempat melihat-lihat isi toko, berbaur dengan orang yang hilir-mudik membeli sesuatu di toko tersebut.
Tentu saja Danu hapal tempat itu. SDN 027 adalah almamater tempat Danu cilik awal menimba ilmu secara akademis. Dulu namanya SD Cicadas Barat. Masa lebih lampau namanya SD Gadis. Konon, karena sekolah itu hanya diperuntukan buat kaum hawa. Namun seiring waktu, pada akhirnya, semua gender bisa sekolah disana. Sementara toko yang menjual tembakau dan keperluan untuk membuat rokok, hanya ada satu disana. Nama toko tersebut “Toko Asean”, namun orang-orang menyebutnya “Toko Panjang”. Entah sebab dulu hanya toko tersebut yang ruangannya menjorok kedalam, hingga tempatnya tampak lebih panjang dari toko lainnya. Atau mungkin juga karena letak toko itu berderet dengan toko-toko lainnya.Posisi toko satu sama lainnya saling berdampingan, hingga terlihat memanjang. Di wilayah itu, dulu tak ada tata letak toko seperti demikian. Kalau sekarang, ada lebih banyak toko lainnya yang lebih panjang daripada toko tersebut. Juga lebih banyak lagi toko berderet daripada toko-toko itu.
“Tunggu disana. Aku datang.” Danu menutup telepon begitu saja. Maman mengumpat ditempatnya. Sudah habis tiga kue balok masuk kedalam perutnya. Di dalam bungkus kertas, masih tersisa dua lagi kue balok, namun perutnya sudah terlanjur merasakan kenyang. Maman santai bersila di teras depan toko Asean. Dengan perlahan menghisap rokok begitu nikmat. Sesekali meneguk kopi hitam dari gelas plastik yang ia pesan dari warung tenda yang menjual kopi dan tak jauh dengan dirinya.
Hari cukup mendung kala itu. Sepertinya hujan akan segera turun.
Sementara Danu yang mencoba menghampiri Maman, setelah melewati jalan memotong, lalu gang-gang kecil, dengan kegalauannya, akhirnya motor Danu sudah melampaui bagian depan Rumah Sakit Santo yusup. Patung besar seorang pejuang yang berdiri kokoh disamping sebuah minimarket telah pula ia lalui. Kemudian SDN 027 telah pula ia lewati. Dengan melakukan sedikit belokan kearah kiri, maka ia sudah bisa melihat Maman yang tengah duduk diteras toko Asean yang menjual tembakau. Maman menyeringai padanya. Danu menghentikan motor. Memarkir kendaraan tersebut dekat dengan motor Maman.
“Tiga kue balok cukup buat aku tak makan siang hari ini, Bro.” sambut Maman. Danu mendengus. Ia duduk begitu saja, diteras toko tembakau sama dengan Maman.
Sepanjang jalan dihadapannya, adalah sebuah pasar. Dari mulai lampu merah jalan Sukarapih hendak ke Cikutra hingga ujung jalan yang tembus ke jalan raya Ahmad Yani, dini hari hingga agak siang, padat oleh penjual disana. Menjelang tengah hari pasar akan menjadi lenggang. Karena penjual disana kebanyakan instrumen tempat jualannya berupa tenda, gerobak, meja-meja kayu, atau hamparan tikar plastik begitu saja, hingga bongkar pasang bisa dilakukan dengan cepat. Selanjutnya yang tersisa disana hanya bangunan-bangunan permanen, semacam toko kelontong, toko plastik dan toko-toko yang menjual barang lainnya, juga beberapa mini market.
“Kamu tau toko ini, Bro?” bertanya Maman sambil menoleh ke dalam isi toko. Danu mengangguk lemah. Ia melihat di kaca etalase toko terpampang beragam macam bungkus rokok. Dari rokok yang berharga murah dan aneh mereknya, hingga rokok yang bernilai jual mahal yang beberapa bentuk rokok itu besar dan panjang. Mungkin semacam serutu dari cuba. Dulu, ketika Danu kecil, di kaca etalase tersebut hanya terpampang komik-komik superhero. Seperti Superman, Batman, Hulk dan yang lainnya. Danu masih ingat saat hendak sekolah, bersama teman-teman SD-nya, ia dan kawan-kawannya tersebut sering melihat sampul komik produk marvel itu dengan begitu kagum serta penuh minat. Pulang sekolah Danu berkali-kali pula menceritakan soal sampul komik yang menurutnya sangat bagus itu pada orangtuanya. Ketika beberapa hari kemudian, ayahnya membelikan komik Superman, maka Danu merasa saat itu ia adalah anak yang paling berbahagia di planet Bumi ini. Kemudian tak lama dari itu, ayahnya mengajak Danu menonton film Superman disalah satu bioskop yang ada di Cicadas. Maka Danu merasa bahwa dunia adalah miliknya saja.
Merasa sudah mengenal Superman, namun ada satu ganjalan dibatin Danu. Maka ia menanyakan tentang hal itu kepada ayahnya. Hingga ayahnya wafat, dan hingga kini, Danu tak pernah menemukan jawabnya. Padahal tanya itu sederhana saja:
"Kenapa celana dalam Superman dipake diluar, dan apakah Superman itu disunat?"
Pernah Danu kecil berlaga seperti Superman dengan dua ujung kain sarung diikatkan kelehernya hingga menjadi jubah, dan celana dalam warna hitam miliknya ia pakai diluar setelah celana pendek merah seragam sekolah, namun demi melihat penampilan anaknya yang ajaib itu, malah ibunya yang teriak histeris. Mungkin ibu-ibu kala itu belum mengenal dengan baik siapa itu Superman. Danu sendiri berlari bangga, dengan jubah kain sarung berkelebat tertiup angin. Mengingat kenangan itu, membuat Danu meringis sekaligus mengulas senyum.
"Kamu belum gila, kan Bro?" Maman membuyarkan lamunan Danu. Danu menatap wajah Maman dengan pandangan sengak. Maman sendiri malah nyengir.
“Liat, brother. Toko ini menjual segala macam alat listrik, alat tulis kantor, dan lain-lainnya. Cuma yang aku kagum itu, toko ini menjual segala macam keperluan untuk merakit batangan rokok,” kekeh Maman mencoba mengalihkan kekesalan Danu.
"Dulgong!" Danu menjawab pendek.
"Apa Dulgong?" Maman bertanya dengan wajah penuh kedunguan.
"Dulgong, peduli Bagong!" geram Danu. (Peduli Bagong semacam kalimat Peduli Setan. Bagong=Babi Hutan=Babi Liar.)
Maman ngakak.
“Liat, Bro. Tembakau bisa dibeli seplastik isi per-ons. Tembakau rajangan, tembakau iris juga. Kertas papernya, filter, cengkeh,dan bahkan alat cetak untuk membuat rokok seperti di pabriknya saja. Sangat komprehensif.” cerocos Maman.
“Rasa tembakau juga beragam. Bisa menyerupai rasa rokok pabrikan. Sepertinya peracik tembakau ini mantan pegawai disemua pabrik rokok.” kekeh Maman lagi.
“Kayaknya kita bisa mempertimbangkan perihal rokok yang biasa kita beli, Bro. Kita bisa merakit rokok sendiri. Dan ini lebih murah jatuhnya. Kita takan boros lagi untuk merokok.” celoteh Maman lagi.