Saka POV
Sudah lebih dari dua minggu sejak pertemuanku dengan Saskia dan Winda yang pertama. Sore ini, setelah kuliah, Arjuna mengajakku untuk menemaninya lagi bersama Saskia dan Winda. Ini adalah ajakan Arjuna yang ketiga setelah sebelumnya aku tolak dengan berbagai alasan. Selama itu, Winda dan aku kadang bertukar pesan. Selalu Winda yang memulai lebih dulu. Pernah satu kali kami bertemu di kantin kampus. Winda bertanya mengapa aku tidak ikut main bersama Arjuna kala itu. Akhirnya, aku menceritakan padanya bahwa aku harus membagi waktu dan tenagaku antara kuliah dan bekerja sehingga tak banyak waktu dan tenaga tersisa untuk bersenang-senang. Aku bisa melihat wajah Winda yang terkejut. Tapi di luar dugaanku, dia tetap ramah dan tetap berkirim pesan padaku. Winda bahkan lebih aktif mengajakku ikut kali ini dibandingkan Arjuna.
Aku berjalan ke pelataran parkir mobil yang dikatakan oleh Arjuna tadi. Di jam terakhir, kami memiliki mata kuliah yang berbeda sehingga dia memintaku untuk langsung menuju parkiran. Aku selesai lebih dahulu, dan daripada menunggu di dalam kelas, aku lebih memilih menunggu di tempat terbuka. Di dekat deretan mobil setidaknya ada kursi taman di bawah pepohonan yang rindang.
“Saskia...” Sepertinya mulutku memiliki nyawanya sendiri. Tiba-tiba aku sudah menyapa Saskia yang duduk di salah satu kursi taman. Pasti dia juga sedang menunggu Arjuna.
“Saka,” balasnya. Aku mendekat tapi tak berani duduk di sampingnya meski kursi itu muat hingga dua orang.
“Kenapa sendirian?” Harusnya ada Winda.
“Winda tadi mau ke toilet dulu. Aku mau menunggu di sini saja. Arjuna mana?” tanyanya sambil menaikkan sedikit wajahnya untuk melihatku yang berdiri. Aku bisa melihat dagu dan rahangnya yang tirus dengan lebih jelas.
“Dia masih belum selesai. Kami beda kelas tadi.”
“Oh...” jawabnya singkat. “Duduk, Saka.” Kia menambahkan. Aku menimbang sebelum akhirnya duduk di sebelahnya. Aku memang tak pandai berbicara dengan perempuan, tapi aku tak pernah merasakan jantungku berdegup seperti ini ketika bersama siapa pun. Aku merasa gugup di dekat Saskia. Mungkin karena dia adalah perempuan yang cantik, paling cantik yang aku temui. Aku dan Saskia lebih banyak terdiam. Kami sama-sama memandang kejauhan. Meski begitu, jantungku belum berdetak dengan normal. Dari ujung mataku, aku bisa melihat telinganya yang mungil. Rambutnya yang lurus digerai hingga menyentuh setengah lengannya.
“Saka, kau suka tinggal di sini?” suara Saskia mengagetkanku.
“Lumayan,” jawabku. “Kau?”
“Tidak terlalu buruk. Ada beberapa teman SMA-ku yang juga kuliah di sini, termasuk Arjuna, jadi aku tidak terlalu merasa sendirian.” Dia menoleh padaku sambil tersenyum kecil.
“Baguslah.” Aku membalas senyumnya. “Bagaimana Arjuna waktu di SMA?”
Saskia kembali menoleh ke depan. Aku membayangkan dia sedang mengernyitkan dahi untuk mengingat masa lalu. “Arjuna yang dulu sama seperti Arjuna yang kau lihat sekarang. Dia sejak dahulu begitu. Bagaimana menurutmu?” Pandangannya tetap lurus ke depan.
“Dia teman yang menyenangkan, baik, banyak hal yang aku kagumi dari dirinya.”
“Apa itu?” Dia melihatku kali ini.