Saka POV
Liburan semester lalu, aku pulang ke rumah. Itu adalah pulang kampung pertama sejak aku kuliah di Sibaru. Menghemat uang adalah alasan utama aku tak banyak bepergian. Kini di semester dua, aku sudah bisa membeli laptop. Bukan hanya dari uang hasil bekerja, ayah juga memberiku uang sebelum aku kembali. Meski aku tidak bercerita apa-apa, rupanya ayahku tahu apa yang aku butuhkan. Dia memberiku uang sehingga dengan ditambah seluruh uang tabunganku, aku bisa memiliki laptop dan sebuah printer paling murah. Kini aku tak perlu merepotkan Arjuna atau ke persewaan komputer untuk mencari materi kuliah atau mengerjakan tugas.
Kabar menggembirakan lainnya datang dari komunitas pecinta alam yang aku ikuti. Kami akhirnya akan naik gunung akhir semester ini. Tentu berita ini aku sampaikan pada Arjuna karena dia ingin ikut ketika aku naik gunung. Arjuna sendiri bukan anggota komunitas, tapi acara ini tidak tertutup untuk mahasiswa lain asalkan mau menaati peraturan yang ada. Arjuna menyambutnya dengan antusias. Tapi mengingat perjalanan kami ke air terjun waktu itu, aku berencana mengajaknya lebih sering berpetualang, sekadar melatih otot kaki dan daya tahannya sebelum naik gunung yang sesungguhnya. Jika kondisi tujuannya memungkinkan, Arjuna akan mengajak Saskia. Kami akan membawa satu set alat lukis dan membiarkan Saskia melukis di tempat yang ramai dan aman, sementara aku dan Arjuna meneruskan hiking.
Hari ini, aku mengajak Arjuna untuk mengunjungi sebuah candi yang letaknya di atas sebuah bukit dengan ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Untuk mencapai lokasi candi, kami harus berjalan naik sepanjang 200 meter. Latihan yang cukup menantang meski di sana jalan setapaknya tentu sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan di area gunung. Saskia bisa ikut kali ini karena ada area tunggu di tengah perjalanan bagi mereka yang tidak kuat meneruskan hingga ke puncak.
“Nah, semua sudah siap, Kia,” kata Arjuna setelah membantu Saskia memasang kanvas baru di standing easel yang kami bawa.
“Oke, terima kasih. Kalian bisa meneruskan perjalanan.”
“Ada yang kau perlukan lainnya?” tanya Arjuna lagi. Saskia menggeleng. Aku melihat sekitarnya, sudah ada botol minum dan set alat lukis di meja pengunjung yang ada di dekat Saskia. Di kanan kiri juga banyak pedagang yang duduk-duduk di pelataran menjajakan makanan ringan. Ada pos penjaga keamanan tak jauh dari lokasi istirahat, seharusnya Saskia akan baik-baik saja meski kami tinggal sebentar. Selain itu, Saskia juga adalah perempuan yang pintar. Dia akan tahu apa yang harus dilakukan ketika ada sesuatu yang tidak beres.
“Kalau begitu, ayo kita lanjutkan,” kata Arjuna sambil melihat ke arahku.
“Oke. Kami tinggal dulu, Kia.”
“Hati-hati kalian. Tak perlu buru-buru.”
Arjuna mencium pipi Saskia sebelum meninggalkannya.
Pemandangan di atas jauh lebih indah dibandingkan di bawah. Andai Saskia bisa sampai di sini, pasti dia akan lebih senang. Melukis pemandangan dengan awan yang seperti bisa kita gapai tangan. Andai ada kuda atau alat transportasi yang bisa membawa penumpang hingga ke sini, ah. Sepertinya Arjuna berpikir yang sama. Dia mengambil banyak gambar pemandangan, untuk Saskia katanya. Keduanya adalah pasangan yang serasi.
“Saka, belum ada gadis di kampus kita yang menarik hatimu?” tanya Arjuna tiba-tiba saat kami duduk di rerumputan.
Aku menggeleng. “Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Apa ada perempuan yang kau suka di kampungmu?”