Saka POV
Semester 2 sudah berakhir. Di sini aku bukanlah murid terbaik seperti di kampung, tapi setidaknya aku termasuk mahasiswa dengan pencapaian di atas rata-rata. Selain itu, dengan bekerja, aku bisa menabung. Setelah memiliki laptop, aku bisa menyisihkan uangku untuk kebutuhan lainnya. Kadang, Arjuna membiarkanku membayar makanan yang kami pesan saat kami pergi bersama, meski tetap saja dia yang lebih banyak melakukannya.
Aku sudah memberitahu Ayah kalau liburan semester 2 nanti aku akan pulang terlambat. Kami, mahasiswa junior, akhirnya akan merasakan naik gunung bersama anggota pecinta alam lainnya. Gunung Magelung kali ini. Gunung dengan ketinggian 1.745 mdpl itu akan menjadi gunung pertama yang didaki Arjuna dan para pendaki pemula lainnya yang akan ikut serta. Magelung sengaja dipilih karena jalur pendakian yang tidak terlalu terjal dan relatif lebih aman. Aku sendiri sudah sering mendaki gunung yang lebih tinggi dan menantang dari Magelung, tapi tetap saja, ini adalah pengalamanku pertama mendaki sebagai mahasiswa bersama sahabatku Arjuna. Beberapa perlengkapan mendakiku sudah aku bawa ke sini saat aku pulang liburan semester kemarin. Sisanya akan aku beli menggunakan tabunganku sembari menemani Arjuna membeli perlengkapan untuknya sendiri.
Lusa adalah hari yang kami tunggu. Tas gunungku sudah siap sejak kemarin, begitu juga dengan milik Arjuna di kosnya. Kami akan berangkat sebelum fajar menggunakan bus universitas menuju Desa Magelung, melakukan pendakian sekitar 5 jam lalu kembali setelah camping semalam di puncaknya. Setelah sampai di Sibaru, keesokan harinya baru aku akan pulang ke Winota, begitu juga dengan Arjuna dan Saskia yang menunggunya di kos untuk pulang bersama ke Palagan.
Aku merebahkan tubuhku di kasur sambil melihat sekeliling kamar kosku. Sudah lebih terisi jika dibandingkan pertama kali aku ke sini. Selain laptop dan printer di meja, aku bisa membeli dua pasang sepatu yang kini menghiasi rak sepatu di depan pintu. Ada rak kabinet kecil untuk tempat menyimpan buku dan perlengkapan lainnya. Ya, hidup merantau memang mengajariku banyak hal. Aku harus pintar membagi waktuku antara kuliah, belajar, bekerja, mengerjakan pekerjaan lain seperti mencuci dan menyetrika baju serta pergi keluar. Sejauh ini aku menikmatinya, meski tak jarang aku rindu suasana di rumah.
Dering telepon membuyarkan lamunanku. Nama adikku, Sita, di sana.
“Halo...”
"..............................."
“Apa? Kapan? ... Lalu bagaimana Ayah sekarang? Ibu?”
"............................."
Aku mengganti panggilan suara menjadi panggilan video. Tampak ayahku sedang berbaring di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya terlihat lemas namun tetap tersenyum. Ayah baru saja kecelakaan. Tidak parah, kata Sita, tapi kakinya retak dan perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit. Ada memar yang aku lihat di bagian wajahnya. Ayah berkata untuk tidak khawatir, namun Ibu memintaku untuk pulang. Tentu aku akan pulang. Aku akan lebih berguna di rumah.