Saka POV
Bangku kananku masih selalu kosong seperti biasa, apalagi jika aku duduk di depan, tempat yang biasa aku dan Arjuna pakai. Namun di luar jam kuliah, aku tidak selalu sendirian. Aku pergi ke kantin bersama Rio dan ketiga teman kami lainnya. Aku tertawa jauh lebih sering dibandingkan saat bersama Arjuna. Kami terlihat biasa saja seperti kebanyakan mahasiswa lainnya, tapi sebenarnya aku merasa kesepian. Kehilangan Arjuna baru aku rasakan akhir-akhir ini, membuatku bertanya apa sebenarnya perannya dalam hidupku. Semakin aku tertawa, semakin aku merasa kesepian. Mungkin dengan Arjuna aku tidak perlu mencoba tertawa, menjadi orang lain. Mungkin dia bisa menerimaku apa adanya, sama seperti dia menerima Saskia.
Saskia. Winda dan beberapa teman sefakultasnya akan berkunjung ke rumahnya, menjenguk. Winda janji akan memberi kabar setelah bertemu Saskia. Harusnya sore ini mereka sudah tiba kembali ke Sibaru. Sudah tiga minggu Saskia tidak kuliah, sudah ada surat cutinya. Apa yang terjadi dengannya?
Winda tidak menelepon, namun mengirim sebuah pesan yang berisi video. Aku melihatnya berulang-ulang. Di video itu, Saskia tidak terlihat sakit, dia tampak pendiam seperti biasa. Yang aneh adalah, dia tidak memberikan reaksi atau respons pada orang sekitarnya. Dia bisa melihat mereka, aku rasa. Dia tahu ada orang-orang di sekitarnya, namun dia memilih untuk tidak merespons. Kia hanya melihat satu per satu yang datang lalu meninggalkan mereka, menjauh, duduk di sebuah ayunan lalu melamun. Dulu pun aku kerap melihatnya melamun, namun segera merespons ketika ada yang datang. Sebegitu besarkah kehilangan Arjuna bisa mempengaruhi pikirannya?
“Keluarganya akan menempatkannya di rumah sakit untuk pengobatan. Jenguklah dia kalau bisa, Saka.” Lalu sebuah alamat di Palagan, alamat rumah Saskia.
Pergi ke Palagan, menengok Saskia. Apakah aku mampu melakukannya? Tapi aku ingin melihatnya. Jika ada di dunia orang yang mengerti apa yang aku rasakan saat ini, Saskia-lah orangnya. Tak perlu lama, aku segera memesan tiket kereta ke Palagan. Setidaknya kini aku sudah memiliki tabungan.
= = = = = = = =
Hari sudah terik saat aku sampai di Palagan. Sebuah ibu kota provinsi yang ramai, beda sekali dengan kampungku. Aku menyewa ojek online setelah menuliskan alamat Saskia melalui aplikasi. Ternyata rumahnya tak terlalu jauh dari stasiun kereta. Saat aku sampai, seorang pria paruh baya langsung menyambutku, menyuruhku masuk dan menunggu di ruang tamu setelah aku mengatakan kalau aku adalah teman Saskia dari Sibaru. Pria itu masuk ke dalam lalu keluar kembali, sepertinya salah satu pekerja di sini.
Rumah Saskia cukup besar, namun terkesan sepi. Ada banyak foto-foto berukuran besar di dinding. Karena ukurannya yang besar, aku bisa melihat dengan jelas meski dalam posisi duduk di sofa ruang tamu ini. Sepasang suami istri berusia sekitar 60-an dan kedua putrinya, salah satunya adalah Saskia remaja. Putri yang lainnya sepertinya kakaknya. Ayah Saskia rupanya adalah seorang perwira, tentara angkatan darat kalau aku lihat dari seragamnya. Banyak foto-foto beliau menggunakan seragam, bersama istri maupun sendirian. Dari semua foto itu, ada satu yang janggal. Satu foto menggambarkan ayah dan ibu Saskia, bersama tiga orang putri. Aku bisa mengenali wajahnya, satu adalah kakak Saskia karena wajahnya sama dengan foto-foto lainnya, dan dua lainnya memiliki postur tubuh yang sama, wajah yang mirip, menyerupai Saskia. Bahkan aku tidak tahu yang mana Saskia. Hampir saja aku berdiri untuk memastikan jika tak ada suara yang mendekat dari dalam.
“Teman Saskia?” Ayah Kia keluar dari ruang dalam. Rambutnya yang sudah penuh uban, keriput serta langkahnya yang pelan tidak bisa menyembunyikan kesan tegas dalam suaranya.
“Betul, Pak.” Aku membungkukkan badan lalu mengulurkan tanganku. Beliau menjabatnya.
“Duduklah. Aku ayahnya. Siapa namamu, Nak?”
“Saka, Pak.” Suasana sangat canggung. Andai aku ikut rombongan Winda saja untuk menjemput Saskia.
“Sendirian saja? Teman dekat Kia?”
“Iya, saya sendiri. Tidak sempat ikut rombongan minggu lalu. Saya sebenarnya teman Arjuna, kami satu fakultas.”
“Oh... teman Arjuna.” Ayah Saskia mengangguk-angguk. “Maut memang tidak bisa diduga, ya. Anak semuda itu....” Kami terdiam sejenak. Seorang asisten rumah tangga menyajikan minuman untukku. “Minumlah dulu, Nak.”
Aku mengangguk lalu meminum teh hangat yang disajikan. Ayah Saskia bertanya tentang perjalananku ke Palagan. Setelah teh-ku habis, beliau mengajakku ke belakang, menemui Saskia. Aku meninggalkan tasku di ruang tamu lalu mengikutinya.
“Saskia banyak menghabiskan waktunya di halaman belakang,” kata beliau sambil berjalan di depanku. “Entah apa yang ada di pikirannya, ibu dan kakaknya saja sudah tidak dipedulikan.”
Ayah Saskia menunjuk pada dua orang yang sedang duduk di sebuah ayunan. Saskia dan ibunya, kurasa. Sang ibu membawa piring berisi makanan, berusaha menyuapi anaknya yang memandang kejauhan, tanpa ekspresi. Kami terus berjalan mendekati keduanya.