Saka POV
Hari pertama semester lima, kelas sudah terisi wajah-wajah lama. Keceriaan bekas liburan masih terdengar di sana-sini, termasuk dari bangku belakangku yang diisi oleh Rio dan pacarnya, Feni. Lima menit lagi bel kuliah pertama akan berbunyi. Aku tidak mengharapkan ada wajah lain lagi yang masuk ke dalam kelas kecuali wajah Bu Ratmi, dosen kami, tapi ternyata aku salah. Seorang perempuan setengah berlari masuk lalu duduk di sebelahku, di kursi Arjuna. Dia merapikan jaketnya lalu meletakkan tas sebelum menoleh padaku.
“Hai... Agnia...” sepertinya dia baru saja menyebutkan namanya.
“Saka,” aku mengikuti. Dia tersenyum.
“Kau mahasiswa baru?” tanyaku, sebenarnya aku lebih khawatir kalau dia salah masuk kelas.
Dia menoleh kembali padaku. “Tidak. Aku cuti selama satu tahun, seharusnya aku kakak seniormu.” Agnia menambahkan senyumnya.
Senior. Dia tidak terlihat lebih tua, mungkin karena hanya satu tahun. Dan belum tentu senior memiliki usia yang lebih tua.
“Oh, begitu.” Tak lama, Bu Ratmi menyusul masuk.
= = = = = =
“Oh, hai...” Agnia lagi. Tiga mata kuliah tadi dia duduk di sebelahku, lalu berpisah saat jam istirahat. “Kau suka duduk di depan ya?” tanyanya, sambil duduk di sebelahku lagi.
“Tidak juga.” Sebenarnya aku sudah berpikir untuk berpindah tempat duduk, namun tak pernah jadi aku lakukan. Kupikir teman-teman akan lebih terkejut jika akhirnya aku pindah. “Kau? Suka duduk di depan?”
“Tidak. Tapi mataku rabun. Akan repot kalau aku duduk di belakang. Apalagi aku sudah lama tidak kuliah, otakku perlu beradaptasi dengan lebih cepat.”
“Kenapa tidak pakai kacamata? Atau kau sudah pakai soft lens?” kusipitkan mataku untuk mengintip lebih jelas ke arah matanya. Matanya bulat, wajahnya sedikit oriental. Pas dengan potongan rambutnya yang hanya seleher.
“Tidak. Aku ini pelupa. Setahun lalu, aku sudah menghilangkan tiga kacamataku. Apalagi kalau bukan aku lupa di mana menaruhnya. Repot kan kalau harus beli kacamata tiap kali aku lupa. Lagipula aku tidak suka memakai kacamata, wajahku tampak aneh... kau tidak percaya?” aku diam saja. “Jangan sampai kau melihatnya. Soft lens? Ah... tambah merepotkan. Lebih baik duduk di depan, tidak akan lupa, tidak merepotkan.”
“Ya, kau benar.”
Sehari itu Agnia duduk di sebelahku. Saat dosen mengajar, dia akan berkonsentrasi penuh pada perkuliahan, namun jika ada jeda, dia membuka percakapan denganku. Di sebelah kanannya ada Edo, namun sepertinya dia lebih suka ngobrol denganku, atau mungkin karena aku duduk di pojok, tak ada orang lain di sisi kiriku sehingga dia pikir aku tak memiliki teman lain selain dirinya untuk berbicara. Agni, nama panggilannya, banyak bertanya mengenai kelas ini. Bagaimana mahasiswanya, siapa pemimpinnya, bahkan... siapa yang sudah berpacaran dengan siapa. Dia berpikir itu sangat penting untuk diketahui sebagai anggota baru. Ada benarnya juga. Pastinya dia tak ingin mendapatkan masalah. Aku menyuruhnya untuk berkenalan di depan kelas, tapi dia langsung menolak.