Agnia POV
Hari pertama kembali ke kampus. Rindu sekali... setahun aku terpaksa berhenti. Aku rindu... pada gedungnya, pada kesibukannya, pada pelajarannya, pada teman-temanku dan... pada kebebasanku. Aku bertemu dengan teman-temanku sebelum mulai jam kuliah pertama. Sedih juga kini aku tidak bisa belajar bersama mereka, harus beradaptasi dengan kumpulan mahasiswa baru, para junior. Seperti apa mereka nanti? Temanku berkata kalau mereka merindukanku, mereka tak tahu betapa aku lebih merindukan mereka. Aku rindu segalanya.
Lima menit sebelum jam kuliah dimulai, aku baru masuk ke kelas. Untung masih ada bangku kosong di depan. Rupanya bangku depan tetap tidak menjadi bangku favorit para mahasiswa hingga sekarang. Tak ada yang menarik di kelas baru, kecuali ada satu mahasiswa yang duduk di sebelahku, Saka namanya. Dia manis, bukan hanya wajahnya, namun juga sikapnya. Dia tidak berlebihan, tidak seperti kebanyakan anak muda sekarang. Yeah... meski hanya berbeda setahun, setidaknya aku lebih tua dari mereka. Jika di sebelahku adalah Rizal temanku, dia pasti akan banyak tanya untuk tahu siapa gadis baru yang tiba-tiba duduk di sebelahnya. Tapi Saka... dia manis.
Langkahku semakin cepat setelah bisa membaca lampu neon bertuliskan Kania Cafe, yup itu rumahku.
“Sibuk, Mas Bas?” Aku menyapa Mas Baskoro yang seperti biasa sudah terlihat sibuk di dapur.
“Sudah ada pelanggan.” Jawabnya sambil membuat isyarat dengan kepalanya, memperlihatkan dua orang customer yang sudah duduk di meja depan.
“Waa... Ayah kemana?” Dia menggeleng lalu kembali memotong daun bawang. “Oke. Aku akan siap setengah jam lagi.” Kutepuk punggungnya lalu segera menaiki anak tangga di belakang dapur. Aku masih mendengar teriakannya yang menyuruhku beristirahat.
Rumahku, atau tepatnya rumah orang tuaku, adalah bangunan dua lantai. Lantai pertama dipakai untuk cafe kecil yang menyediakan makanan dan minuman yang mudah disajikan. Hidup di kota yang banyak terdapat mahasiswa dan pekerja, memberi orang tuaku kesempatan untuk membuka usaha cafe. Mereka mendirikan cafe ini empat tahun lalu. Mas Baskoro adalah satu-satunya pekerja yang membantu kami. Dia tiga tahun lebih tua dariku, baru bekerja dengan Ayah dua tahun ini. Jika tak ada dia, entah bagaimana nasib cafe ini.
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku segera turun ke bawah. Sudah ada tiga customer lainnya yang menanti pesanan.
“Aku bantu apa?”
“Tolong minumannya...” jawab Mas Bas sambil menunjuk slip pesanan di atas meja. Dua ice tea dan satu Americano less ice, okay.
“Bagaimana hari pertama kuliah lagi?” Tangannya tetap terampil menyiapkan tiga nasi goreng.
“Menyenangkan, bertemu kawan lama.” Dua ice tea sudah siap.
“Seharusnya kau tak perlu buru-buru pulang. Mainlah dulu dengan temanmu setelah kuliah besok. Kalau masih sore, cafe belum terlalu ramai. Aku bisa sendiri.”
“Aku belum ingin pergi ke mana-mana.” Sebelum aku berangkat tadi pagi, Ayah lebih dahulu keluar rumah, entah ke mana. Meski Mas Baskoro adalah pekerja yang bisa dipercaya dan sangat rajin, tidak seharusnya dia bekerja sendirian. Americano less ice siap. Kuambil baki lalu kuantarkan ke meja nomor empat.
Cafe ini tidak terlalu besar. Hanya ada delapan meja dan lima kursi bar. Jika bukan weekend, jarang sekali sampai terisi penuh dalam satu waktu. Pengunjungnya kebanyakan adalah dari kalangan mahasiswa yang sudah menjadi langganan cafe ini. Mereka suka berlama-lama menggunakan wifi. Begini saja, kami berdua sudah sering kewalahan, apalagi kalau lebih sering penuh. Bukan aku tak suka uang, tapi buat apa banyak uang kalau kau tak sempat menikmatinya. Buat apa sibuk mencari uang kalau untuk itu kau kehilangan sesuatu yang ternyata tak bisa kau beli dengan hasil kerjamu tadi. Dalam hidupku, aku sudah bertekad tak ingin jadi budak uang. Tapi sepertinya sekarang belum saat yang tepat untuk menerapkan hal itu.