Agnia POV
Aku merasakan tidur yang sangat nyaman sekali malam tadi. Meski hari Minggu dan kafe ramai, tapi ada ayah dan Mas Bas. Aku hanya membantu sampai pukul 8 sebelum ayah menyuruhku ke atas untuk istirahat. Saat ibu sakit, banyak sekali pengeluaran untuk biaya pengobatan. Belum lagi aku dan ayah tidak bisa membuka kafe karena harus menunggui ibu hingga akhirnya ayah berutang. Kini semuanya sudah kembali normal. Ayah sudah tidak menghilang lagi. Ada Mas Bas yang tetap mau bekerja sama, dan aku bisa kuliah lagi. Semuanya akan kembali seperti dulu, hanya saja tidak ada ibu.
Tak ada kuliah pagi, meski begitu aku tidak terbiasa tidur hingga siang, kecuali aku tidak bisa tidur di malam harinya. Tak ada suara di luar, mungkin ayah masih tidur atau sudah membuat sarapan di bawah. Aku memutuskan untuk keluar kamar, jika ayah belum bangun, akan kubuatkan sarapan. Aku bisa memasak meski tidak sebaik ayah dan Mas Bas. Aku berhenti di ruang tamu, mencoba menangkap suara yang mungkin bisa terdengar dari bawah, tidak ada apa pun. Pintu kamar ayah masih tertutup, mungkin terlalu lelah semalam. Baru selangkah menuju kamar mandi ketika mataku melihat sebuah amplop di atas meja. Tertulis namaku di sana. Tulisan ayah.
Agnia,
Saat kamu hadir kembali di tengah-tengah kami, ayah sangat bahagia. Ayah ingin menebus kesalahan yang ayah dan ibu lakukan padamu. Ayah ingin mengembalikan apa yang seharusnya kamu terima sejak lahir. Tapi ternyata, semua tidak berjalan seperti yang ayah rencanakan. Ayah dan ibu tidak bisa mengembalikan 18 tahun yang hilang, tidak pula bisa mendekatkan diri padamu. Kehilangan Kania juga membuat ibumu jatuh sakit yang akhirnya meninggalkanmu untuk kedua kalinya, meninggalkan kita. Kini ayah juga harus meninggalkanmu.
Berada di rumah, mengelola kafe yang dulunya ayah dan ibu perjuangkan, membuat ayah semakin merindukan ibumu. Ayah tidak ingin berada pada titik yang sama dengan ibu ketika kehilangan Kania. Melihatmu, semakin mengingatkan ayah akan kesalahan ayah, meninggalkanmu, membuat ibumu hanya melihat pada Kania, dan kini semuanya menghilang.
Ayah harus pergi dari sini. Beri ayah waktu. Ayah sudah berbicara dengan Baskoro. Kafe akan ditutup sementara waktu. Ayah mendapatkan pekerjaan di perkapalan. Satu setengah tahun, Agnia. Beri ayah waktu satu setengah tahun, ayah akan kembali.
Kamu tak perlu khawatir tentang utang-utang ayah. Ayah akan membayarnya tepat waktu, begitu juga dengan uang kuliah dan biaya hidupmu. Meski ayah jauh, ayah tetap ayahmu. Belajarlah dengan rajin, kau anak yang pandai, ayah selalu bangga padamu. Jenguklah kakek dan nenek jika ada waktu.
Maafkan ayah, tolong jangan membenci ayah dan ibu. Walau ayah tak pantas meminta apa pun darimu, tapi tolong jaga diri baik-baik, ayah percaya padamu.
Dadaku sakit, aku melangkah ke kamar ayah, membuka pintunya. Semua tampak rapi seperti biasa. Ayah memang selalu rapi. Kubuka lemari pakaiannya, masih ada tapi hanya sedikit. Tak ada sepatu yang biasa ayah gunakan untuk bepergian, tak ada jaket kulit kesayangannya. Ayah benar-benar pergi.
Entah berapa lama aku duduk di tepi ranjang ayah, melihat almari yang sedari tadi ternyata masih terbuka. Ayah memang sering pergi setelah kematian ibu, rumah memang sudah terbiasa sepi, namun kini, rasa sepi ini terasa berbeda. Aku berusaha memahami, berusaha menerima. Tapi di dalam hatiku, sebuah suara kecil berteriak: Kenapa lagi-lagi aku yang ditinggalkan? Apa yang salah padaku sehingga semua orang selalu pergi? Tapi suara itu hanya diam dalam hatiku, sama seperti rumah yang kini kosong lagi. Kutinggalkan kamar ayah tanpa menutup pintu almari, toh takkan ada yang protes lemarinya terbuka.
Aku mandi seperti biasa, bersiap-siap ke kampus. Saat melewati dapur lantai satu, aku membuka mesin counter, ada uang cukup banyak. Aku menghitungnya, cukup untuk keperluanku selama 2 minggu. Kulihat sekilas meja-meja kafe yang sudah bersih. Pasti sudah dibersihkan oleh ayah dan Mas Bas semalam. Mas Baskoro, aku akan merindukannya. Apakah ayah sudah memberi pesangon yang cukup untuk Mas Bas? Haruskah aku meneleponnya? Haruskah aku menelepon ayah? Kubuka pintu dapur lalu menguncinya kembali. Hari ini dan seterusnya aku akan menjalani kehidupanku sama seperti temanku lainnya. Kuliah, menunggu kiriman uang dari orang tua, dan hidup di kota asing yang jauh dari keluarga.
= = = = = = = = = =