Agnia POV
Aku mengaduk saus spaghetti lalu memasukkan irisan sosis untuk menu makanku malam ini. Persediaan bahan makanan sudah hampir habis, aku harus berbelanja minggu besok. Ayah sudah memberi kabar, dia berlayar ke Eropa, menjadi salah satu pegawai di dapur kapal asing. Memasak untuk orang banyak sementara anak satu-satunya harus mengurus dirinya sendiri. Tapi aku sudah bukan anak kecil lagi. Aku bukan Agnia kecil yang merengek bertanya di mana ayah dan ibuku pada nenek. Semua akan baik-baik saja.
Kupindahkan piring spaghettiku ke salah satu meja kafe lalu duduk di sana. Mau aku apakan ruangan ini? Meja-meja ini? Menutup kafe sebenarnya sangat disayangkan. Kafe ini sudah memiliki pelanggannya sendiri. Hingga saat ini masih banyak yang datang lalu pergi lagi setelah melihat papan TUTUP di depan pintu masuk. Tapi aku belum mampu mengelolanya sendirian. Meski dibantu Mas Bas pun, rasanya aku belum sanggup jika masih kuliah. Satu setengah tahun lagi ayah akan kembali. Satu setengah tahun lagi, jika tak ada halangan, aku pun akan lulus. Mungkin sudah tak terpikirkan lagi untuk membuka kafe. Mungkin, entah aku akan pergi ke mana. Tapi di sinilah kenanganku bersama Kania dan Ibu. Meski tak banyak, tapi aku tak ingin lupa. Kenapa ayah justru ingin melupakannya.
Oh ya, aku teringat sesuatu. Kukeluarkan ponsel dari dalam saku celanaku.
"Saka suka makan apa?" Kenapa aku lupa bertanya padanya tadi di kampus.
"Apa saja," jawab Saka cepat.
"Tidak ada yang tidak disukai atau tidak ingin dimakan dalam waktu dekat?"
"Tidak ada."
"Baiklah."