Saka POV
Kupakai minyak wangi sebelum memasukkan kaos bergaris ke tubuhku. Kalau diingat-ingat, ini adalah kencan pertamaku. Kecuali bersama Saskia di rumah sakit, aku tidak pernah pergi dan menghabiskan waktu dengan perempuan, hanya berdua saja. Dulu saat pertama akan mengunjungi Saskia di rumah sakit, aku pun tidak menganggapnya sebagai kencan, hingga saat ini. Aku adalah teman yang mengunjungi temannya yang sedang sakit. Kusisir rambutku dengan rapi. Rambutku pendek, tidak perlu menggunakan minyak atau apa pun. Meski begitu, mungkin nanti akan lebih acak-acakan karena aku harus naik bus selama kurang lebih 45 menit hingga 1 jam untuk bisa sampai di tempat yang Agnia berikan kemarin. Setelah itu, aku masih harus berjalan kaki dari shelter ke lokasi. Jika terlalu jauh, mungkin aku akan memakai ojek online. Ada baiknya aku bawa saja minyak wangi ini.
Pukul 11.30 aku keluar dari kos, berjalan ke shelter terdekat untuk menunggu bus jurusan Lokananta. Bus baru datang 15 menit kemudian, semoga aku sampai tidak lebih dari jam 1. Karena ini hari Sabtu, bus tidak terlalu penuh. Di tengah perjalanan aku mendapatkan tempat duduk. Mungkin Agnia harus berdiri sepanjang perjalanan saat berangkat pagi ke kampus. Bisa dibayangkan penuhnya bus ini di pagi hari. Sekitar 40 menit berikutnya aku turun di shelter Loka. Aku belum pernah ke Lokananta sebelumnya, memang tak banyak tempat yang aku kunjungi selama aku di Sibaru ini. Daerah ini cukup ramai karena ada 2 universitas swasta di dekat sini. Masih banyak waktu, aku pun ingin berjalan-jalan. Kuurungkan niat untuk memesan ojek online.
Peta elektronik membawaku ke sebuah jalan di perkampungan tak jauh dari jalan raya utama. Seharusnya sudah dekat, tapi aku tidak melihat keramaian motor atau mobil parkir, hingga aku sampai di sebuah bangunan 2 lantai. Di depannya terdapat neon box bertuliskan 'Kania Cafe' yang padam. Seharusnya di sini. Apa belum buka? Bagian depan bangunan lantai 1 adalah kaca yang ditutup roller blind, sepertinya tutup. Apa Agnia tidak tahu? Aku segera menghubungi Agnia melalui panggilan WhatsApp.
"Halo Agnia, aku sudah sampai di lokasi, tapi kafenya tutup."
"......................."
"Oh.... di belakang? Sebentar..." Aku melangkah ke bagian samping bangunan, masuk melalui halaman parkir di sebelahnya. "Kamu yakin?"
"...................."
"Oke." Aku mendorong sebuah pintu samping yang disebutkan Agnia melalui telepon. "Oh hai...." Kututup telepon setelah melihat Agnia di dalam.
"Hai... bingung ya?"
"Lumayan." Kami berada di sebuah dapur di dalam sebuah kafe yang tutup. Agnia sedang menyiapkan sesuatu. "Mau aku bantu?"
"Tidak. Kamu adalah tamu. Maaf ya belum siap. Tunggu saja di atas," katanya sambil menunjuk sebuah tangga di bagian dalam dapur.
Aku hanya melihat tanpa melangkah ke sana. "Kamu sendirian? Kamu bekerja di sini?" Kakiku justru melangkah ke arah meja dan kursi kafe yang ada di depan dapur. "Boleh duduk di sini?" Agnia mengangguk.
"Iya, hanya ada aku di sini. Kafe ini milik orang tuaku, tapi sekarang sudah tutup. Mau minum apa, Saka? Aku ada milkshake cokelat, teh, kopi, sepertinya masih ada kapucino dan soda di lemari pendingin," Agnia menunjuk showcase yang berisi minuman botol dan kaleng.
Aku berjalan ke lemari showcase, membukanya lalu mengambil sebuah minuman teh dingin. "Terima kasih. Apa setiap Sabtu jadwalnya tutup?" Rasa dingin dan segar menjalar ke tenggorokanku setelah meneguk teh dingin tadi. Aku melihat Agnia menggeleng sambil meletakkan hasil gorengannya ke atas dua buah piring. Sepertinya itu makan siangku hari ini.
"Kafe ini tutup sejak beberapa hari lalu. Makanan sudah siap! Ayo kita ke atas. Saka, tolong ambilkan aku soda. Kamu ambil saja yang lainnya kalau mau."
Aku berdiri lalu mengambil soda untuk Agnia dan dua botol mineral untuk kami. Agnia mendahuluiku naik ke lantai atas lalu meletakkan piring yang dia bawa ke atas sebuah meja. Di sana sudah ada beberapa jenis makanan lainnya. Kuletakkan botol-botol minuman kami di meja.
Lantai dua ini lebih terlihat seperti rumah. Ada pintu-pintu untuk kamar dan satu pintu kamar mandi, kurasa. Ada balkon yang tak terlalu luas. Aku tidak melihat balkon ini dari luar tadi, mungkin tertutup neon box berukuran besar yang tadi aku baca.
"Di mana orang tuamu?" Aku tidak berencana untuk bertemu dengan keluarga Agnia. Jika dia memberi tahu kalau kami akan berkencan di rumahnya, pasti aku menolak.
"Tidak ada siapa-siapa kecuali aku. Ibuku sudah meninggal, ayahku bekerja di kapal." Dia duduk di salah satu kursi dan menunjuk kursi di depannya.
"Kamu anak tunggal?" Aku duduk di kursi yang ditunjuk Agnia tadi.
"Bisa dibilang begitu. Aku dulu punya saudara kembar, tapi sudah meninggal saat aku SMA." Agnia membuka kaleng sodanya. "Ayo dimakan."
"Maaf, pasti berat untukmu dan keluargamu ya." Tiba-tiba aku teringat Arjuna. Ada beberapa hidangan yang disiapkan oleh Agnia, tapi pembicaraan ini membuat rasa laparku sedikit menghilang.
"Untuk orang tuaku, iya. Untukku, entahlah. Aku tidak terlalu mengenalnya." Dia menaikkan bahu lalu menusuk potongan chicken katsu yang masih panas, meniupnya sebentar lalu memakannya.
Ada beberapa jenis hidangan di atas meja. Nasi goreng yang berwarna kekuningan lengkap dengan irisan meatball, chicken katsu, dan semangkuk kecil salad sayur. Aku mengikuti Agnia, mendekatkan piring nasi gorengku. "Bagaimana bisa kau tidak mengenal saudara kembarmu?" Satu sendok nasi goreng yang masih hangat masuk ke dalam mulutku. Rasanya enak, tidak terlalu pedas. Aku tidak mengira Agnia bisa memasak.
Dia menatapku sambil mengunyah makanannya. Lalu sambil menelannya dengan buru-buru, Agnia mengambil botol mineral dan membukanya. Dengan cepat botol itu sudah kehilangan isinya separuh.
"Pedas?" Aku bertanya.
Dia menggeleng. "Kau pernah dengar kalau ada saudara kembar yang identik, maka salah satu harus dipisahkan?" Sorot matanya tajam ke arahku seakan pertanyaan ini sangat penting sekali.
Aku mengangguk. Aku memang pernah mendengar hal itu. Mungkin karena aku tinggal di kampung. Tapi aku kira itu hanya dilakukan di zaman dahulu. "Kalian dipisahkan karena itu?"
Agnia tertawa kecil sambil melambaikan tangannya. "Tentu tidak. Tapi ceritanya mirip seperti itu."
Aku mengunyah suapanku sambil menunggunya berbicara, tapi sepertinya Agnia tidak ingin meneruskan. Dia menekuni makanannya kembali. Aku juga melanjutkan makanku sampai habis.
"Bagaimana rasanya?"
"Enak kok, aku tidak menyangka kau bisa memasak."
"Kenapa? Penampilanku tidak cocok?"
"Ya. Memang sebaiknya tidak menilai seseorang dari penampilannya ya..."
"Betul sekali. Apa yang kamu lihat, belum tentu itu yang sepenuhnya terjadi."
Makanan utama kami habis. Agnia mengeluarkan buah dan puding dari dalam lemari es. Kami menyantapnya perlahan.
"Kamu benar-benar mempersiapkan segalanya. Maaf aku tidak membawa apa-apa. Aku kira kita akan bertemu di kafe yang sebenarnya."
"Tidak usah dipikirkan. Aku senang kamu sudah datang ke sini. Oh ya, ini kencan pertamaku, jadi harus spesial." Agnia tersenyum hingga memperlihatkan deretan giginya.
"Sebenarnya ini juga kencan pertamaku."
"Oh ya?"
Aku mengangguk.
"Bagaimana dengan perempuan yang kamu sukai itu?"