Saka POV
“Meja nomor 17,” Seno memberikan satu nampan berisi dua steak dan dua milkshake padaku.
Minggu memang selalu ramai, tapi Minggu ini bisa dikatakan ramai sekali. Mungkin karena sudah mendekati akhir semester, atau mungkin karena mendekati akhir bulan. Bukan hanya hari ini saja, tapi dari Sabtu kemarin. Aku sedikit lega memutuskan untuk tidak mengunjungi Palagan minggu ini. Setidaknya restoran ramai, itu berarti aku akan mendapatkan bonus meski tidak bisa dikatakan banyak.
Setelah kuletakkan pesanan di meja nomor 17, aku beralih ke meja di sisi kiri yang sudah ditinggalkan oleh pengunjung. Kuambil piring dan gelas kotor untuk dibawa ke dalam. Jika tak ada halangan, mungkin saat ini Saskia sudah berada di tengah keluarganya. Dekat dengan orang-orang yang lebih mengasihinya. Semoga dia sudah bisa melupakan Arjuna, atau setidaknya dia tidak akan menunggu-nunggu Arjuna gadungannya ini datang ke sana. Tak ada kabar dari keluarga Saskia. Itu berarti semuanya baik-baik saja. Tapi memang siapa aku hingga harus dikabari.
---
“Sudah menelepon Saskia?” tanya Agnia setelah dosen kami meninggalkan kelas.
Aku menggeleng. “Kenapa?”
Aku mengangkat bahu. “Dia sudah berada bersama keluarganya. Mungkin dia sudah melupakan Arjuna.”
“Tapi... apa kau tidak khawatir? Tidak... rindu?”
“Tentu aku khawatir,” aku segera menjawabnya.
“Kalau begitu telepon saja. Jika mungkin Saskia sudah melupakan Arjuna, setidaknya lakukan untuk dirimu sendiri. Agar kau tidak khawatir,” Agnia menepuk pundakku pelan.
“Ya, seharusnya aku meneleponnya.”
“Bagus. Aku tinggal dulu ya...”
Aku mengangguk. Agnia akan pergi bersama kawan-kawan seangkatannya dulu. Aku melihat tubuhnya hingga dia berlalu dari balik pintu.
Menelepon Saskia akhirnya baru aku lakukan Kamis sore. Aku menelepon ponselnya namun tak ada jawaban. Apa mungkin Saskia sudah tidak menggunakan ponsel itu setelah keluar dari rumah sakit? Menelepon ayah Saskia rasanya aku masih ragu. Akhirnya aku memutuskan untuk menelepon rumah sakit terlebih dahulu. Mencari kabar Saskia. Jika dia sudah pulang, maka mungkin aku tidak seharusnya khawatir lagi. Mungkin dia benar sudah sembuh, sudah tidak mengingat aku sebagai Arjuna atau Saka.
“Halo...” suara seorang perempuan dari sana.
“Halo... saya Saka, teman Saskia Wibisono, pasien Edelwis.”
“Iya... ada yang bisa dibantu?”
“Apakah Saskia masih dirawat di sana atau sudah pulang?” Aku mendengar suara tuts keyboard yang ditekan dengan cepat.
“Saskia tercatat masih dirawat di sini.”
“Oh... apa ada rencana Saskia akan dipulangkan akhir minggu ini?”
“Tidak ada catatan apa-apa di sini soal itu. Maaf saya tidak bisa memberi tahu lebih banyak soal data pasien.”
“Tentu. Terima kasih kalau begitu. Saya berencana akan mengunjunginya Sabtu besok.”
Petugas di seberang memberi informasi formal mengenai jam besuk dan aturan di rumah sakit yang sudah aku hafal betul. Setelah itu, aku berterima kasih kembali dan menutup teleponnya.
Jadi, Saskia belum pulang ke rumah, mungkin dia salah informasi saat berbicara padaku waktu itu. Aku segera menggulir layar ponselku, membeli tiket kereta api ke Palagan untuk Sabtu besok.