Saka POV
Sudah seminggu sejak aku mengunjungi Saskia yang terakhir, aku belum mendengar kabarnya lagi hingga ayah Saskia menghubungiku. Demi kesehatan Saskia, aku dilarang mengunjunginya lagi hingga batas waktu yang belum ditentukan. Saskia baik-baik saja, kata ayahnya, dia hanya perlu waktu untuk mencerna segalanya secara perlahan. Saat aku bertanya lebih lanjut, ayahnya enggan menjelaskan. Beliau hanya memintaku menunggu kabar dari Palagan, dan yang penting, tidak menunjukkan wajahku di depan Saskia.
Apa dia semakin memburuk? Aku teringat Arjuna. Selama ini aku semakin jarang mengingatnya, hanya saat bersama Saskia. Apa yang akan Arjuna lakukan kalau tahu aku memperburuk kondisi Saskia? Mungkin dia akan memukulku. Aku berharap dia bisa memukulku.
“Ayo jalan-jalan setelah kuliah nanti?” Agnia sudah berdiri di sebelahku. Sepertinya dia baru datang.
“Kemana?”
“Kemana saja, kamu ada acara lain?”
“Tidak juga.”
“Kalau begitu kita jalan-jalan sebentar?”
Aku mengangguk.
---
Jalan-jalan yang dimaksud Agnia adalah betul-betul berjalan-jalan di taman kota. Kami mengitari embung yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Sesekali terlihat riak air yang menunjukkan ada kehidupan di bawah permukaan air yang mulai berwarna kehijauan.
“Kamu sudah lama tidak mendaki, mungkin jalan-jalan bisa membantu melemaskan kakimu,” kata Agnia sambil terus berjalan di sampingku. Di tangannya ada sebotol air mineral.
“Kamu perhatian sekali. Jangan lupa, aku selalu jalan kaki dari kos ke kampus dan sebaliknya. Langkahku saat aku bekerja di restoran juga masih cukup untuk melemaskan kaki.” Aku menjejak-jejakkan kakiku ke tanah, memastikan mereka masih bisa diandalkan jika sewaktu-waktu ada jadwal naik gunung. Aku ingin kembali.
“Belum ada kabar dari Palagan?” tanya Agnia setelah kami duduk di kursi panjang, yang disediakan di bawah pohon.
Aku menceritakan soal pertemuanku dengan Saskia kemarin. “Ayah Saskia memintaku untuk tidak datang ke sana sementara waktu.”
“Dia memberi tahu kenapa?”
“Tidak juga. Dia hanya berkata kalau itu untuk kesehatan Saskia.”
“Apa Saskia baik-baik saja?”
“Ayahnya bilang begitu. Dia memintaku untuk tidak khawatir.”
“Tapi kau tidak akan berhenti khawatir sebelum melihatnya baik-baik saja,” dia meminum air mineral yang dibawanya sedari tadi.
“Tentu saja. Siapapun di posisiku akan seperti itu, kurasa.”
“Ya. Bisa dimengerti. Kadang kita ingin dekat dengan seseorang, tapi nyatanya bukan kita yang dibutuhkan. Bersabarlah.” Dia menoleh padaku sambil tersenyum.