Hentakan demi hentakan kaki mengalun-alun di udara. Derap tak bernada itu mengacak-acak senyap yang memenjarakan ruang BK.
Dia diam ketika sang guru bertanya perihal kegiatannya memanjat pagar belakang sekolah ketika pelajaran sedang berlangsung dengan khidmat di kelas. Dia memang tidak berniat menjawab. Ia percaya kebisuannya akan menyelamatkannya dari tempat ini, seperti Senin-Senin sebelumnya.
"Tidak mau menjawab?" Indra membanting lembut lembaran-lembaran kertas yang ia peluk di tangan ke atas meja. Ia kembali melipat tangan di dada seraya terus mencermati murid berprestasi namun bermasalah di hadapannya. Indra penasaran, sekaligus tertarik pada siswanya itu.
Dia menggosok bakal janggut di area dagu. Hampir sepuluh tahun dia bekerja menangani banyak siswa dengan berbagai masalah psikologis. Mulai dari masalah jambak-jambakan karena memperebutkan kursi terdepan, hingga percobaan bunuh diri karena lelah menjadi bahan perploncoan. Semua kasus itu Indra selesaikan tanpa harus mengerut kening.
Akan tetapi hari ini berbeda. Sejak tahun ajaran baru dimulai, hingga saat ini memasuki bulan ketiga, Darma selalu membuat ulah dengan motif yang sama. Dan malangnya, ia selalu disatroni oleh satpam sekolah yang sedang bersiaga. Seolah Darma memang sengaja ingin tertangkap sedang memberontak. Tapi untuk apa?
Pertanyaan demi pertanyaan menghinggapi kepala Indra. Ia terus mengamati gerak-gerik Darma. Sejauh ini, dia tak menemukan gestur seorang pengguna narkotika pada diri Darma. Wajah Darma juga tidak menampilkan ekspresi kurang tidur seperti milik para gamers. Indra berlagak memicingkan mata seolah dengan melakukannya ia bisa melihat Darma hingga ke dalam sanubari lelaki itu. Tapi percuma saja.
"Aneh kamu ini," komentar Indra akhirnya. Ia mengatupkan kembali mulut yang hendak berujar pengusiran terhadap Darma agar kembali ke kelas, ketika seorang siswa perempuan masuk dengan langkah tegas. Setegas rahang yang melengkapi profil wajahnya.
Punggung Darma tegak selaras dengan pemangkasan jarak yang dilakukan siswa perempuan itu. Dalam hitungan detik, dia sudah berdiri di samping Darma yang sedang duduk diam. Di tangannya, ia menggendong beberapa majalah yang lumayan tebal. Darma meninggikan dagu secukupnya demi menemukan teduh tatapan dari netra sehitam kopi milik siswa perempuan itu.
Indra menoleh, bukan pada siswa berkucir kuda itu. Namun pada Darma. Pada tatapan intens yang Darma alirkan pada gadis itu.
"Pak, saya menemukan tumpukan majalah dewasa di laci meja anak-anak lelaki di kelas saya." Gadis itu membanting bawaannya di meja yang membelah Indra dan Darma.
Indra spontan bergedik karena suara bantingan itu. Berbeda dengan Darma yang bahkan tak berpaling sedikit pun dari gadis yang rutin mengunjungi ruang BK pada setiap Senin pagi itu. Sanubari Indra jadi digelitiki rasa penasaran akan sorot yang Darma hadiahkan pada Cathy. Dia merasa telah menemukan jawaban atas semua pemberontakan rutin yang Darma lakukan belakangan ini.
Ocehan rinci Cathy mengenai tindakan tak senonoh yang ia temukan, tak lagi jadi fokus Indra. Di akhir laporan Cathy, Indra hanya membubuhi, "Saya dan Bu Ambar akan menindaklanjutinya segera." Sekilas ia menatap tumpukan majalah dewasa itu. Dan menemukan foto eksotis seorang bule dengan bikini sebagai sampul majalah pada tumpukan teratas. Indra menelan ludah sesaat karena pemandangan vulgar itu. Lalu ia kembali menatap Darma.
Lelaki itu belum juga berpaling dari kegiatannya mengawasi Cathy. Sementara Cathy tak menyadari apapun. Hening berjarak tipis pun segera ditepis Indra dengan membersihkan tenggorokan. "Sebentar lagi istirahat kan?" Indra menarik tatap dari Darma. Ia menoleh pada Cathy yang berdiri rapi di sisi Darma.
"Iya, Pak," jawab Cathy dengan sekali anggukan. Dagu runcingnya ikut turun naik.
"Kamu tunggu di sini. Saya punya sedikit tugas untukmu." Indra mengacungkan ujung jempol yang hampir menyatu dengan ujung telunjuk sebagai isyarat dari kata 'sedikit' yang dia ucapkan.
Gadis itu mengangguk tanda menurut tanpa tahu akan ditugasi apa.