Dia sedang berdiskusi serius dengan seorang guru wanita berkerudung. Sesekali mulutnya berkomat-kamit, mengutarakan jawaban yang langsung mengundang rasa puas dari sang guru. Dan saat itulah senyum lega gadis itu mengembang.
Darma asyik mengamati kegiatan Cathy sejak setengah jam belakangan. Didukung jam pelajaran yang telah usai sepuluh menit lalu, Darma lebih dulu kabur menuju perpustakaan. Menguntit si gadis aneh yang sedang tekun mempersiapkan diri menghadapi olimpiade Matematika.
Di perpustakaan yang hening dan beraroma kertas lama, Cathy kembali menulis. Sesekali sang guru pembimbing mengecek isi ponsel sementara Cathy mengerjakan sebuah soal di atas kertas, tanpa kalkulator tanpa ponsel. Gadis itu murni menghitung dengan modal ingatan dan pemahaman. Seharusnya Cathy tak lagi butuh didampingi. Namun evaluasi tetap diperlukan sebagai sentuhan terakhir sebelum ia beristirahat total mendekati hari perlombaan.
Darma berdiri menyandar pada dinding di sisi pintu perpustakaan yang dibuka penuh. Sebelah bahunya menggendong ransel. Mencermati wajah Cathy bagai menghadirkan sapuan sehalus bulu di hati Darma. Lembut dan membuat nyaman. Dia sendiri sudah lupa kapan persisnya ia mulai menyimpan perasaan semanis itu untuk Cathy.
Didukung status Cathy yang tidak terlalu baik di kalangan siswa sekolah ini, Darma jadi kesulitan melancarkan serangan pendekatan secara terang-terangan. Dan ia memilih teknik gerilya seperti sekarang. Namun terkadang aksinya justru disatroni oleh orang lain.
"Darma." Volume suara Indra kelewat keras. Cathy dan Sandra, guru Matematika, serentak menoleh keluar perpustakaan demi menemukan kegaduhan singkat itu. Namun tak ada apapun sehingga mereka tak lagi menaruh peduli.
Darma spontan mendesis lalu menelan ludah. Ia menutup rapat matanya dengan bahu tergedik. Dari sekian banyak orang yang berpeluang menyatroninya, ia sungguh sangat tidak mengharapkan diketemukan sedang menguntit oleh Indra. Dia tidak terlalu akur dengan guru BK itu.
Dengan berat hati, Darma memutar tubuh. Menemukan semringah di wajah pria setinggi tubuhnya itu. Darma menghela napas berat. Ada bias bahagia dalam ekspresi Indra saat ini. Seolah menemukan Darma di tempat itu merupakan keuntungan besar buatnya.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Indra. Ia memanggul ransel sewarna abu rokok.
"Jual jamu," Darma menyerobot asal.
Indra tertawa riang. Darma justru mendelik. Baginya, dagelan barusan sangatlah basi. Namun gurunya itu justru terbahak-bahak lebar. Darma menggeleng pelan. "Mau balikin buku lah, Pak." Dia meluruskan kemudian.
"Sama, saya juga." Indra mengacungkan buku yang sejak tadi ia genggam di tangan kanan. "Mana punyamu?"
Seketika Darma panik. Ia membasahi bibir asal-asalan kemudian mengigit bagian kenyal itu pelan. Seumur hidup bersekolah di tempat ini, dia tidak pernah meminjam buku sekalipun. Buatnya, membaca adalah hal yang sangat membosankan. Darma bukanlah tipikal pria teoritis. Dia merupakan praktisi praktik sejati. Saliva yang melintang susah payah di tenggorokan menyadarkan Darma bahwa ia memiliki beberapa buku di dalam ransel untuk dijadikan bahan kamuflase.
"Sebentar, Pak." Petikan jari Darma terdengar nyaring. Kemudian ia merogoh apapun buku selain buku tulis dari dalam tas.
Darma memajang sebuah buku paket yang digunakan sekolah ini untuk materi Biologi di depan dada. Barisan giginya menghias wajah. Ia sudah pasrah apabila trik busuknya justru menenggelamkannya pada hukuman berlari, lagi dan lagi, karena ketahuan berbohong pada guru.
Indra menaikkan sebelah alis mencermati sampul buku sewarna batu bata itu. Tangannya naik ke area dagu dan menggosok pelan bagian itu. Terasa kasar di sana.
Ia memang bukan salah satu guru pengasuh bidang studi di sekolah ini. Tetapi ia tak sebodoh itu. Seharusnya Darma lebih cerdas menyusun skenario kebohongannya.
Indra mengangguk-angguk pelan. "Ya sudah, ayo masuk," ajaknya sok naif.
Darma mengerjap tak sangka. Ia menelan ludah lagi lalu mengangguk pelan sebagai jawaban. Semula ia mengira Indra adalah guru yang cerdas dan tak mudah dikibuli. Dalam hati ia menertawakan kebodohan Indra.