Sepotong Pizza untuk si Pengikat MaknaOleh: M. Iqbal Dawami*“Honey, Pak Hernowo meninggal,” ujar saya kepada istri saya yang hendak berangkat ke sekolah, tempatnya mengajar.“Innâ lillâhi ... kapan, Pak?”“Tadi malam,” jawab saya.
Kepergiannya benar-benar mengejutkan kami. Setahu saya, beberapa hari sebelumnya, beliau masih mem-posting tulisannya di Facebook dan menjawab pelbagai macam pertanyaan di kolom komentarnya. Tapi, tiba-tiba saja saya mendengar kabar beliau meninggal, rasanya tak percaya.
Tidak ada tanda-tanda sakit sebelumnya yang saya ketahui atau dirawat di rumah sakit, misalnya. Saya tahu pertama kali kabar kepergiannya dari status FB Pak Ahmad Baiquni, CEO Al-Mizan, yang menukangi terbitnya buku-buku Mizan Wa-cana. Kemudian, disusul dari status dan WA Pak Bambang Trim di WAG Rumah Penulis Indonesia. Dari situ, bermunculanlah status dan komentar belasungkawa terhadap Pak Hernowo. Orang yang kenal beliau, baik secara langsung maupun hanya lewat buku-bukunya, tentu merasakan kehilangan. Orangnya memang baik kepada semua orang. Beliau juga begitu concern terhadap dunia literasi (baca-tulis). Setahu saya, beliau adalah orang yang ucapan dan tindakannya menyatu padu. Apa yang beliau ucapkan di forum-forum yang beliau isi adalah apa yang beliau lakukan dalam kesehariannya.
* Penulis, editor, dan pelatih kepenulisan. dawami@gmail.com dan WA 085729636582.
26Saya sendiri mengenal beliau hanya lewat karyanya. Bertemu muka hanya satu kali. Pertama mengenal beliau dari buku yang saya baca. Buku tersebut rekomendasi dari kakak tingkat di kampus dan senior saya juga di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia ini boleh dibilang yang mengenalkan saya di dunia baca-tulis. Nah, buku yang dia rekomendasi untuk saya baca adalah Mengikat Makna karya Hernowo, yang baru terbit waktu itu. Saya kemudian membelinya. Gagasan, tulisan, maupun pewajahan isi bukunya memang menarik. Perspektifnya begitu kaya dan segar.
Gagasannya dinamakan “Mengikat Makna”, sesuai judul bukunya. Buku ini, bagi saya, ibarat jendela ke dunia baca-tulis. Di profilnya, terdapat e-mail pribadi beliau. Dari situlah, komunikasi saya bersama Pak Hernowo bermula. Saya yang waktu itu sedang semangat menulis dan bermimpi menjadi penulis, seperti menemukan seorang guru. Memang, beliau tidak pernah memberi tahu saya letak kekurangannya setiap kali saya mengirimkan tulisan ke beliau, tetapicara menilai dari memberikan antusiasmenya membuat saya terus bertahan untuk setia membaca dan menulis.
Dari situ, saya tahu bahwa orang ini asyik diajak “curhat”. Hingga akhirnya saya tidak hanya membicarakan soal literasi, juga soal kehidupan.
Termasuk soal jatuh cinta kepada seorang perempuan berwajah rembulan.