58Suami memutuskan pinjam mobil kantor dan kami dipinjami mobil kantor yang dipegang Pak Hernowo. Alhamdulillah, mudik kami jadi lebih mudah sehingga bisa meminimalkan kerewelan bayi-bayi kami. Pak Hernowo sendiri tentu harus mudik dan saya tidak sempat bertanya bagaimana caranya beliau mudik. Yang pasti, saya merasa,beliau orang yang sangat baik karena mau mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya.
Dalam kesempatan lain, beliau bertanding bulu tangkis melawan suami saya di babak final dalam sebuah perayaan kemerdekaan yang diselenggarakan kantornya, yaitu Mizan. Beliau mengaku menyerah di set kedua dan memberikan hadiah serta gelar juara kepada suami saya. Padahal, menurut suami, beliau bermain bulu tangkis sangat bagus, jauh melebihi kemampuan suami. Tak tampak juga bahwa beliau lelah sehingga tidak mampu melanjutkan pertandingan. Menurut suami saya, beliau betul-betul mengalah begitu saja. Mungkin, bagi beliau, melihat rekannya bahagia jauh lebih membahagiakan daripada sekadar meraih gelar juara. Kenangan demi kenangan sederhana bermunculan dan membuat saya ingin berterima kasih kepada beliau. Selamat jalan, Pak Hernowo, semoga dihimpunkan bersama Rasulullah dan para kekasih-Nya.[]Mengikat Makna Selamanya
“Senang Sekali Mendapat Kabar Ini”Oleh: Anna Farida*Itu jawaban khas yang selalu Pak Her sampaikan ketika berkomentar atas e-mail atau status Facebook saya saat mengabarkan perkembangan saya dalam belajar menulis. Ada suasana ringan dan riang di dalamnya, dan tanggapan atas proses menulis bebas yang sedang saya jalani itu membuat saya terbawa senang.Sebenarnya, semula, menulis bebas itu tidak mudah bagi saya. Sebagai penulis yang baru lahir, saya cenderung pasang standar kejam pada tulisan-tulisan saya. Tak hanya itu, saya juga galak dan sok kritis pada tulisan orang lain. Kata-kata: “kurang teliti, kurang cermat, kurang mengalir, kurang bagus, tidak taat kaidah, kurang ini, kurang itu” sering saya lontarkan terhadap tulisan saya sendiri dan tulisan teman—apalagi jika orang itu tidak saya kenal. Walah, semakin sok gaya saja saya. Saat itu, menulis memang sudah saya tekuni dan saya senangi, tapi tetap menyisakan tekanan yang tidak bisa dikendalikan. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membongkar pasang satu paragraf yang hanya terdiri dari dua puluhan kalimat. Demi apa? Demi memuaskan hasrat saya untuk disebut keren. Hasilnya? Tulisan yang gagal dan dipaksa bagus. Lantas, sebuah sentilan datang. Tak perlu saya ceritakan terperinci.
Pendek kata, saya merasa perlu sedikit mengendurkan ketegangan saat menulis. Saya mulai ikut berbagai pelatihan menulis pada para senior.
* Murid Kelas Menulis Selasa Sore , tinggal di Bandung.
60Sebagian di antara pemateri bolak-balik berkomentar, “Sudah jadi penulis kok ikut pelatihan lagi?”Hal itu tidak terjadi di kelas Pak Hernowo. Meskipun diperkenalkan sebagai penulis oleh teman-teman saya, Pak Her tidak pernah mem-perlakukan saya berbeda. Saya dapat tugas yang sama dengan peserta pelatihan lain yang benar-benar baru mulai. Tugas saya diberi komentar dan masukan yang membukakan wawasan, tanpa sedikit pun ada kalimat yang menyiratkan, “Katanya penulis. Kok, tulisannya seperti ini?” For your information, saya sudah menulis belasan buku saat belajar pada Pak Hernowo dan beliau tahu itu. Jadi, kebayang, kan, bagaimana kecemasan saya ketika tulisan saya dibaca beliau. Perlahan, kecemasan itu luntur. Saya seperti diberi kesempatan untuk belajar dengan pola pikir yang lebih terbuka. Saya jadi lebih berani berlatih dari nol dan mendapatkan manfaat tanpa takut diledek saat melakukan kesalahan. Uniknya, saat pada satu sisi Pak Her mengizinkan saya melakukan berbagai kesalahan dalam proses belajar, beliau juga memandu saya menulis opini di media massa. Saya memetik berkah dari kedua writing style ini: belajar untuk menulis lebih leluasa, sekaligus belajar menulis dengan gaya serius di koran. Entah bagaimana Pak Her mengajarkannya, tulisan opini pertama saya terbit di koran, disusul tulisan demi tulisan lain. Belakangan, saya sadari bahwa saat itu saya dituntun untuk berani memulai dari nol, sekaligus tetap mengembangkan kemampuan menulis yang sudah saya miliki. Di kelas Pak Hernowo, perpindahan frekuensi antara belajar sebagai pemula dan sebagai penulis serius terjadi tanpa saya sadari. Hanya pakar yang bisa menyampaikan hal yang sulit menjadi mudah dipahami, sesuai dengan kadar hadirin.
Mengikat Makna Selamanya