75dan artikel dengan konten umum—di luar pembahasan tentang kegiatan membaca dan menulis—yang saya masukkan dalam kategori non-literasi.Pertama, artikel yang saya pilih berikut—dan langsung saya ikat maknanya—bukanlah catatan pertama Pak Hernowo Hasim di laman FB-nya. Namun, mengingat artikel yang ditulis pada 4 Oktober 2017 ini mengungkap sejarah bagaimana pertama kali ia melahirkan konsep Mengikat Makna, saya merasa perlu mengangkatnya dalam tulisan ini.
Artikel yang diberi judul: “Mengikat Makna Setelah 17 Tahun Lebih Berlalu ...”, tentu saja masuk dalam kategori literasi. Melalui artikel tersebut, Pak Hernowo berkisah ketika pertama kali ia melahirkan konsep Mengikat Makna pada 21 Juli 2001 bersamaan dengan terbitnya buku pertamanya yang ia beri judul: Mengikat Makna: Kiat-Kiat Ampuh untuk Melejitkan Kemauan plus Kemampuan Menulis Buku yang diterbitkan oleh Kaifa pada 2001. Melalui buku itu, Pak Hernowo melakukan perjalanan intelektual dalam dirinya. Ia tak hanya membakar semangat dirinya untuk terus belajar dan membuka pikirannya, juga menyemangati para mahasiswanya untuk menerapkan strategi Mengikat Makna secara intensif, tentu saja dengan tugas-tugas membaca sekaligus menulis. Ada kutipan yang amat dahsyat di artikel tersebut yang saya suka.
Dan, saya berpikir bahwa semua orang yang menegaskan dirinya untuk menjadi penulis atau setidaknya menjadi pembelajar sejati haruslah mengaplikasikan nasihat yang luar biasa ini: “Mengikat Makna memang sangat menekankan sekali ikhwal membaca yang baik dan benar—khususnya membaca teks. Dalam proses pembacaan tersebut, seorang pembaca dituntut untuk menemukan sesuatu yang sangat penting dan berharga atau makna. Jika seorang pembaca tak berhasil menemukan makna Mengikat Makna: Meneladani sang Maestro Melalui Karya-karyanya
76atau sesuatu yang sangat penting dan berharga, maka apa yang mau ‘diikat’ (dituliskan)?”(Hernowo Hasim)Ini bukan hanya sebuah kutipan, juga merupakan kata-kata motivasi bagi setiap pembelajar sejati, lebih-lebih bagi mereka yang ingin mendalami dunia tulis-menulis. Dengan kutipan ini pula, saya jadi teringat pada nasihat Pak Hernowo, sang maestro Mengikat Makna itu, ketika saya meminta masukannya—via inboks di FB—untuk judul artikel saya yang akhirnya ia usulkan untuk diberi judul: “Melembagakan Membaca sebagai Sekolah Mandiri”; sebuah artikel hasil inspirasi dari pernyataan Dewi Dee Lestari—salah seorang penulis yang ia idolakan—bahwamembaca adalah cara orang bersekolah secara mandiri.
Tak hanya itu, Pak Hernowo juga banyak memberi masukan tentang isi artikel saya itu terutama menyangkut kegiatan apa saja yang perlu dilakukan agar membaca itu seperti “terlembagakan” menjadi sekolah mandiri. Pengalaman berdialog secara intensif via inboks di Facebook itu saya anggap pertemuan sekaligus perkenalan anugerah; penuh pencerahan. Saya merasa mendapat transfer ilmu yang sungguh luar biasa dari mendiang Pak Hernowo. Masih dalam artikelnya itu, Pak Hernowo juga menyinggung tentang “membaca ngemil” sebagai bagian dari rangkaian kegiatan membaca dalam konsep Mengikat Makna. Ibarat ngemil makanan ringan, membaca secara ngemil berarti kita menikmati bahan bacaan itu sedikit demi sedikit sambil secara kritis menanyakan kepada diri sendiri hal penting dan berharga dari bahan bacaan itu yang bisa dipetik, lalu menuliskan (mengikat maknanya).
Dengan begitu, proses belajar secara mendalam pasti tercapai.
Mengikat Makna Selamanya