HERNOWO ADALAH MONUMENOleh: Haidar Bagir* Buat saya, Hernowo bukan cuma sahabat puluhan tahun. Dia juga sebuah mo numen hidup. Monumen? Hernowo telah menunjukkan dengan je -las kepada saya: bagi makhluk yang namanya manusia, tak ada kata men tok. Berkali-kali, satu menyusul yang lain. Dia membuktikan bahwa kemampuannya terus-menerus meningkat. Wawasan, kepribadian, sikap kepemimpinan, kemampuan komunikasi, dan kebijaksanaannya. Tahukah Anda, dengan apa dia meraih prestasi-prestasinya itu? Dengan membaca. Bahkan, peningkatan kemauan dan kemampuan membacanya inilah yang menjadi sumber segala prestasinya itu. Semua yang kenal laki-laki berputra empat ini tahu bahwa Hernowo adalah mesin baca buku yang tak pernah off. Kemauannya baca buku nggegirisi. Segala jenis buku dilahapnya, dengan kuantitas yang makin lama makin besar. Mulai novel, buku how to, kiat-kiat manajemen, hingga buku-buku sastra, filsafat, dan agama. Saya kira, dia bisa menyelesaikan beberapa buku-serius sekaligus dalam sehari. Yang lebih menarik, kami semua tahu soal ini karena lewat tulisan dia, dengan penuh semangat, selalu membagi pengalamannya membaca itu dengan teman-temannya, dengan para koleganya sekantor, bahkan juga dengan para tetangganya. Ini juga suatu pencapaian yang spektakular. Karena lewat kerajinannya menulis inilah, keterampilannya * Sahabat karib dan pendiri Penerbit Mizan.
2mengungkapkan apa yang perlu dia ungkapkan lewat tulisan pun meningkat luar biasa.Di bawah ini, saya nukilkan catatan-spontannya tentang 1 Muharram, yang dia posting lewat milis Mizan, beberapa hari sebelum saya tulis kata pengantar ini. Ringkas, spontan, tapi berisi, dan tampak merupakan buah dari suatu proses perenungan yang cukup panjang. (Karena itu, saya pun—dengan izinnya—mem-forward catatan-pendek ini ke beberapa milis lain yang saya ikuti). Simaklah:Inti hidup, tampaknya, diwakili oleh satu kata ini: memilih. Dalam bahasa Jungian, memilih berarti menjalani secara sempurna sebuah proses yang disebut psikolog Jung dengan istilah amat menarik: individuasi. Dan Bang Armahedi Mahzar memiliki kata-kata bagus untuk proses individuasi ini, yaitu meruntuhnya kepribadian lama dan mengutuhnya kepribadian baru. Coba cermati rima mengutuh dan meruntuh tersebut. Menarik bukan? Pas saya bangun pagi di hari pertama Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1422 H, saya sudah harus memilih. Pukul setengah delapan pagi saya diundang tetua kampung saya di Arcamanik untuk merayakan tahun baru bersama sesepuh lain. Usai perayaan kecil-kecilan, akan dilanjutkan dengan ngobrol-ngobrol tentang permasalahan kampung. Padahal, kita semua tahu, pagi inilah juga terjadi siaran langsung penyerahan Oscar yang ke-73.
Mana yang saya pilih? Saya memilih menghadiri pertemuan.
Saya tiba di pertemuan tepat pukul setengah delapan. Setengah jam kemudian, acara pertama berlangsung: Siraman Ruhani.
Saya mencoba mencermatinya. Sampailah sang penyiram ruhani pada soal iman, ilmu, dan amal. Saya kaget.
Ada persinggungan makna antara saya dan dia. Dia artikan ilmu sebagai cahaya, dan amal sebagai sebuah penciptaan-agung (saya suka menyebutnya sebagai kreativitas). Yang saya tak Mengikat Makna Selamanya
3paham, atau mungkin tidak diartikannya secara jelas, adalah soal iman.
Kata sang penyiram ruhani, interaksi iman-ilmu-amallah yang menumbuhkan iman kita. Interaksi itu membuat diri kita naik dari selapis keadaan menuju lapis-lapis keadaan berikutnya.
Saya terperanjat juga dengan perspektif-baru ini. Tindakan agung atau kreativitas yang disinari ilmu akan membuahkan iman yang dahsyat. Dan ini bisa terjadi setiap hari. Terjadi setiap hari? Saya kemudian teringat definisi Iqbal tentang iman. Iman itu seperti burung. Jalannya tak berjejak dan pengembaraannya tak dituntun oleh rasio.
Alhamdulillah, pilihan saya tepat. Saya memperoleh sesuatu, pada awal tahun baru Hijriah, yang sungguh tak terkira. Saya memperoleh mata-baru lagi.
26 Maret 2001/1 Muharram 1422HernowoBukan suatu kebetulan Hernowo menyitir Iqbal dalam catatan itu. Hernowo memang pengagum Iqbal sejak dulu. Malah, seingat saya, buku Iqballah (Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam) yang merupakan buku filosofis pertama yang dibacanya. Itu, dulu, kira-kira tahun 1988, ketika kami masih sama-sama kuliah di Teknik Industri ITB. Sejak kami berdua masuk ke Departemen Teknik Industri, kami memang sudah bersahabat. Pada awalnya, saya kenal Hernowo sebagai anak Magelang yang ngepop. Perawakannya cukup tinggi agak ceking, pakaiannya mengikuti mode, dan rambutnya yang lurus menjurai hingga ke bahu. Bukan itu saja. Kendaraan yang dinaikinya adalah motor Suzuki trail 125 cc! Seingat saya, hanya sedikit mahasiswa yang memilih motor jenis ini pada waktu itu. Pokoknya trendy.