Malam itu, Pangeran tak bisa tidur.
Ia duduk di kursi dekat perapian, menatap api yang memantul di matanya. Di pangkuannya, foto lama itu masih ia genggam. Diradja—kakak yang dulu ia remehkan, lalu hilang tanpa jejak setelah kematian orang tua mereka.
Kini, seolah bayangan masa lalu itu datang kembali, membawa sesuatu yang lebih besar dari sekadar balas dendam.
Ia menatap ke arah Kana yang tertidur di sofa. Wajah istrinya tenang, tapi di balik itu, ada trauma yang belum sembuh. Ia ingin melindunginya, tapi bagaimana caranya kalau musuh bahkan tak terlihat?
Dalam keheningan itu, ia mendengar suara lembut dari luar—seperti ketukan pelan di kaca jendela ruang tamu.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Pangeran berdiri, perlahan berjalan mendekat.
Kabut menempel di kaca, membuat pandangan buram. Tapi di sela-sela uap putih itu, tampak sesuatu tergores di permukaan jendela—huruf-huruf yang ditulis dengan jari:
“Ingat hari mereka mati.”
Pagi berikutnya, ketika Kana bangun, Pangeran sudah tidak ada di rumah. Di meja makan, hanya secangkir kopi yang sudah dingin dan sebuah catatan pendek:
“Aku harus memastikan sesuatu. Jangan keluar rumah.”
Kana menggenggam kertas itu erat. Di luar, kabut belum juga pergi.
Dan di ujung jalan, samar-samar, ia bisa melihat seseorang berdiri di bawah pohon pinus—seolah menunggu yang lain untuk keluar.