Menguji Janji

Y. N. Wiranda
Chapter #5

Bab 5 - Luka yang Tak Dibicarakan

Sudah hampir dua minggu sejak Harland datang.

Dan sejak malam itu, Kana merasa seperti hidup di rumah yang sama dengan seseorang yang asing.

Pangeran masih berangkat pagi-pagi sekali, pulang larut malam, dan seringkali tidak bicara apa-apa. Kadang hanya gumaman pelan seperti, “Kau sudah makan?” atau “Tidurlah duluan.”

Tidak ada lagi percakapan ringan tentang tanaman di taman belakang, atau rencana memperbaiki pagar kayu yang condong. Tidak ada lagi tawa kecil saat ia menanam bibit mawar yang selalu gagal tumbuh.

Kini, setiap kali Kana melihat ke arah pintu, yang datang bukan lagi suami yang dulu menatapnya penuh cahaya. Yang datang hanya bayangan lelaki yang tampak lelah—mata sayu, langkah berat, dan bau dingin dari kabut Skotlandia yang menempel di mantelnya.


Pagi itu, Kana duduk di depan rumah, memandangi tanah kebun yang mulai tertutup embun beku. Tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin.

Ia tidak tahu lagi harus menanam apa. Mawar, lavender, bahkan rosemary—semuanya membusuk sebelum tumbuh.

Suara langkah pelan terdengar di belakangnya.

“Pagi,” kata Pangeran datar, suaranya nyaris tertelan angin.

Kana menoleh dan tersenyum kecil, meski tahu senyum itu hanya formalitas. “Kau tak sarapan?”

“Aku makan di jalan.”

“Lagi?”

Pangeran tidak menjawab. Ia hanya menunduk, memperbaiki sarung tangannya, lalu bergegas menuju mobil tua di garasi.

Saat mesin menyala, Kana menatap punggungnya lama. Ia ingin berlari dan memeluknya, mengatakan kalau ia masih takut—takut akan kabar dari Harland, takut akan jarak yang makin jauh di antara mereka. Tapi bibirnya kelu.

Hanya suara pintu yang menutup lembut, diikuti oleh dengung mobil yang menjauh di jalan berbatu.


Lihat selengkapnya