Cerita Aya.
Tentang penderitaan dan pengorbanan...
Pagi ini sungguh cerah. Sinar matahari masuk menyinari kamar tempatku di rawat. Sesekali tirai jendela berayun-ayun dipermainkan angin yang menerobos masuk membelai wajahku.
Tapi aku hanya diam membisu. Aku tak menikmati pemandangan yang tersaji di balik jendela. Aku hanya diam membisu memandang hampa dengan segala pikiran yang bermain di kepala dan segenap perasaan yang berkecamuk di dada.
Sudah lebih dari satu minggu aku terbaring di sini, di kamar vip rumah sakit. Di lengan kiriku menancap selang infus bersama selang oksigen di hidungku.
Aku sendiri tak tahu apa sebenarnya penyakitku. Keterangan dokter yang memberitahukan apa penyakitku pada orang tuaku tak aku dengarkan. Aku tak mahu tahu. Dan aku juga tak berminat untuk tahu.
Yang aku rasakan saat ini adalah ada yang hilang dari dadaku. Seolah-olah ada sesuatu yang telah terenggut paksa dari hatiku tanpa tersisa sedikitpun untukku. Dan aku tahu apa itu.
Orang yang aku cintai pergi meninggalkanku. Meninggalkanku sendiri merasakan kepedihan yang tak pernah aku bayangkan akan sesakit ini. Pergi membawa seluruh cinta dan sayangku yang ku berikan padanya sebagai lelaki pertama yang mengenalkan cinta padaku.
Aku tahu kalau sebenarnya itu bukan keinginannya. Aku juga tahu kalau sebenarnya dia dipaksa oleh orang tuaku untuk meninggalkanku karena orang tuaku tak menyetujui hubungan kami. Hubungan yang telah terjalin begitu indah dan memberikan kesan yang sangat mendalam di hatiku.
Semua bermula saat orang tuaku menginginkanku segera menikah agar terhindar dari fitnah. Dan aku sangat gembira mendengarkannya karena aku telah memiliki pilihanku sendiri.
Namun aku terkejut saat mendapati kenyataan bahwa ternyata orang tuaku telah menjodohkan aku dengan seseorang yang sama sekali tak aku kenal.
Aku sedih. Aku kecewa. Aku ingin memilih seseorang yang memang ku cintai. Yang selama ini mengisi relung hatiku. Menghiasi malamku dengan mimpi-mimpi indah. Yang selalu memberikan rasa nyaman saat aku berada disisinya.
“Umi ingin memilihkan pasangan yang terbaik untuk Aya.” Kata umiku saat itu. “Tapi bukan dia.”
“Tapi kenapa, umi? Bukankah kekasih Aya sudah bekerja dan telah menyelesaikan kuliahnya?”
Umiku mendengus sinis. “Tapi bukan dengan orang yang tak jelas seperti itu.”
“Kekasih Aya bukan orang yang tak jelas, umi. Kekasih Aya sudah bekerja dan telah menyelesaikan kuliahnya. Dia juga berasal dari keluarga baik-baik dan taat beragama. Sama seperti kita.”