Alarm ponsel Adi berbunyi pukul 5.00 pagi. Nada deringnya sama seperti tiga tahun lalu, bukan karena ia menyukainya, tapi karena tak pernah sempat atau peduli untuk menggantinya. Ia mengulurkan tangan, mematikan alarm, lalu terduduk di pinggir ranjang. Cahaya lampu tidur yang redup memantulkan wajah lelah di cermin lemari. Kantung matanya gelap, rahangnya sedikit kaku.
Di sebelahnya, Rani menggeliat pelan sambil menarik selimut, matanya masih setengah terpejam.
“Udah bangun?” suaranya serak, hampir seperti berbisik.
“Iya,” jawab Adi singkat, mencoba menjaga suaranya agar tidak membangunkan Raka, anak mereka yang baru berumur tiga tahun dan tidur di sebelah.
Adi masuk kamar mandi, mencuci muka dengan air yang dinginnya menusuk. Lalu berganti baju—kemeja polos murah yang dibelinya di ecommerce, celana bahan, dan sepatu kulit yang bagian ujungnya mulai terkelupas. Sarapan belum ada; dia terbiasa membeli nasi uduk di depan stasiun.
Jam 6.15, ia keluar rumah, menyalakan motor bebek yang catnya kusam. Udara pagi di kompleks perumahan mereka di Bekasi masih lembap dan berbau tanah basah. Perjalanan ke stasiun KRL memakan waktu 20 menit, cukup untuk merasakan udara dingin yang menusuk tulang, dan cukup untuk membuat pikirannya mulai menghitung jam kerja yang akan dihadapi.
Di stasiun, lautan manusia sudah memadati peron. Adi berdiri di antara pekerja kantoran lain, sebagian sibuk menatap ponsel, sebagian terdiam dengan tatapan kosong. Ia ikut berdesakan masuk ke gerbong, berdiri sambil menggenggam erat gantungan besi. Di luar jendela, bayangan pepohonan dan gedung-gedung pinggiran kota melintas cepat. Di dalam gerbong, tercium udara hangat dari campuran bau parfum murah dan keringat.
Setiap hari seperti ini, naik KRL ke Sudirman, jalan kaki ke halte bus, lalu lanjut naik bus TransJakarta ke kantornya di kawasan perkantoran yang padat. Perjalanan pulang nanti akan sama—hanya saja lebih penuh, lebih panas, dan seringkali ia berdiri selama hampir dua jam.
***
Di rumah, Rani membuka mata sekitar jam enam. Alarmnya tak pernah benar-benar membangunkannya; suara langkah kecil Raka di ubin yang selalu menjadi penanda pagi.
“Mama, lapar,” kata Raka sambil menarik-narik kaos tidur ibunya.
Rani tersenyum tipis, mengusap kepala anaknya. “Oke, Mama bikin roti ya.”
Dia bangkit, rambutnya diikat cepat, lalu masuk ke dapur. Sambil menyalakan oven listrik, ia membuka laptop di meja makan. Notifikasi email dari kantor sudah memenuhi layar.
Bekerja dari rumah terdengar nyaman bagi orang lain, tapi baginya itu berarti menyatukan dua dunia yang jarang cocok; rapat virtual dan memasak lauk, mengirim laporan dan mencuci piring, mengetik dokumen sambil satu mata mengawasi anaknya yang menggambar di lantai.
Rani dulu gemar berdandan sebelum berangkat kerja, memadukan warna lipstik dengan blush on, juga menghabiskan waktu makan siang dengan teman-temannya di kantin atau kafe kekinian. Sekarang, baju rumah longgar dan celana training sudah menjadi seragam. Lipstik hanya dipakai kalau ada meeting dengan kamera menyala.
***