Mengulang Awal

RH Ishak
Chapter #2

POV RANI | Bab 1 - Mencoba Bertahan

Aku sering mencoba mengingat kapan terakhir kali hidup terasa ringan. Kadang kupikir itu sebelum menikah, sebelum semua tanggung jawab ini menumpuk di pundakku. Tapi semakin dipikir, semakin kurasa jawabannya ada di masa yang bahkan lebih jauh—sebelum hidup berubah menjadi daftar kewajiban panjang yang tak pernah selesai.

Sejak awal 2020, segalanya berjalan tidak seperti yang kuimpikan. Aku menikah dengan Adi di bulan Februari, dengan harapan memulai babak baru yang penuh warna. Aku membayangkan rumah kecil yang hangat, akhir pekan diisi menonton film sambil makan camilan, dan perlahan menabung untuk masa depan.

Tapi sebulan kemudian, dunia berubah. Virus yang awalnya hanya kulihat di berita luar negeri tiba-tiba masuk ke Indonesia. Dalam hitungan minggu, pemerintah mengumumkan pembatasan sosial. Jalanan sepi. Orang-orang takut keluar rumah. Kata “lockdown” tiba-tiba menjadi bagian dari bahasa sehari-hari.

Sebulan setelah menikah, aku kehilangan ayah. Dia meninggal bukan karena COVID, tapi karena komplikasi diabetes yang sudah lama dideritanya. Tapi masa itu—masa lockdown—membuat segalanya terasa sepuluh kali lebih sulit. Rumah sakit penuh, protokol kesehatan ketat, dan kami tidak bisa menemaninya seperti seharusnya. Pemakamannya cepat, sunyi, dan terasa asing. Tidak ada pelukan penghiburan dari kerabat. Hanya doa yang kami kirimkan dari kejauhan.

Saat itu aku baru tahu kalau aku mengandung Raka. Rasanya seperti memikul dua beban sekaligus—kehilangan dan harapan—tanpa diberi waktu untuk bernapas.

Sebagai anak pertama, aku otomatis mengambil alih peran ayah. Adikku satu-satunya masih kuliah, dan ibu kehilangan sumber penghasilan. Semua biaya hidup mereka, termasuk uang kuliah adik, jatuh ke pundakku. Adi tidak pernah melarangku membantu, tapi bantuan itu berarti aku harus terus bekerja meskipun hamil dan meskipun pandemi membuat segalanya rumit.

Kadang aku bertanya-tanya, apakah kami sudah mulai goyah bahkan sebelum semua ini terasa jelas?

Jika kuputar ingatan ke awal 2020, jawabannya mungkin iya.

Bulan Maret, pandemi COVID-19 resmi masuk ke Indonesia. Pembatasan sosial mulai diberlakukan. Perusahaan tempat Adi bekerja mengumumkan pemutusan hubungan kerja massal sejak September 2020. Dan Adi termasuk di dalamnya.

Waktu itu aku mencoba kuat. “Nggak apa-apa. Kita masih punya tabungan,” kataku sambil menepuk bahunya. Aku tidak ingin dia merasa gagal.

Tapi aku tidak tahu kalau masa menganggur itu akan berlangsung lima bulan.

Di bulan pertama, aku masih melihatnya mencoba mencari lowongan. Tapi bulan-bulan berikutnya, hari-harinya dihabiskan di depan layar komputer bermain game.

“Kamu udah coba apply hari ini?” tanyaku suatu siang.

“Belum… nanti sore deh,” jawabnya, tanpa menoleh dari layar.

“Nanti sore” sering berarti “tidak sama sekali”.

Akhirnya aku yang sibuk mengirimkan lamaran untuknya. Aku membuatkan CV, menyesuaikan portofolio, bahkan mengisi formulir online. Setiap kali ada panggilan seleksi, aku yang mengingatkannya, aku yang memastikan semua dokumen siap.

Tapi ketika tes datang, kadang dia mengerjakannya sambil lalu.

“Pa, itu udah dikerjain maksimal belum?”

“Iya… ya, nanti aja dibenerinnya.”

“Nanti” lagi.

Dana darurat kami habis di bulan keempat. Tabungan yang kami sisihkan sejak sebelum menikah ludes untuk cicilan rumah, belanja bulanan, dan biaya bantu ibu serta adikku di rumah. Aku sudah hamil beberapa bulan waktu itu, dan rasa cemas menyatu dengan rasa letih yang tak pernah hilang.

Titik baliknya datang di akhir 2020. Hari itu, aku masuk rumah sakit untuk induksi. Kontraksi datang lambat, dan rasa sakitnya seperti meremas tulang dari dalam. Aku bertahan berjam-jam, lalu akhirnya bisa melahirkan secara normal. Namun setelahnya, perdarahan hebat terjadi.

Aku masih ingat perawat berkata, “Hb-nya cuma 8, Bu. Kita harus cepat.”

Rasanya tubuhku melayang. Antara sadar dan tidak. Aku mendengar tangisan Raka di kejauhan, lalu suara ibuku memanggil-manggil.

Ibu dan adikku ada di sana sepanjang proses, bergantian menggenggam tanganku. Mertua? Tidak datang. Aku mencoba mengerti, tapi hatiku kadang tetap menyimpan luka.

Adi berdiri di sudut ruangan, matanya merah. Mungkin baru saat itu dia melihat dengan jelas: aku berjuang bukan hanya untuk melahirkan anaknya, tapi juga mempertaruhkan nyawaku.

Awal 2021, Adi mulai benar-benar mencari pekerjaan. Dia akhirnya diterima di sebuah perusahaan manufaktur yang cukup konvensional. Itu bukan pekerjaan impiannya, tapi setidaknya cukup untuk mulai membangun kembali keuangan kami.

Lihat selengkapnya