Mengulang Awal

RH Ishak
Chapter #3

POV RANI | Bab 2 - Ambang Batas Waktu

Langit pagi itu kelabu, tapi panasnya tetap menusuk kulit. Aku duduk di kursi panjang ruang tunggu Pengadilan Agama Bekasi, map berisi dokumen tergeletak di pangkuanku. Jemariku mengetuk pelan sampul plastiknya, mencoba meredakan gugup yang menumpuk di dada.

Suara-suara di sekitar bercampur: bunyi sepatu yang beradu dengan lantai, petugas memanggil nama-nama, bisik-bisik pasangan yang juga menunggu giliran. Wajah-wajah di sekelilingku punya raut yang sama—lelah, pasrah, atau dingin seperti tembok.

Aku melirik jam di dinding. Sudah lewat lima belas menit dari jadwal mediasi kami. Kursi di seberangku masih kosong, Adi belum datang.

Sejak aku mengucapkan kata “pisah” di bulan Mei, waktu seperti berjalan lambat tapi berat. Di minggu-minggu pertama, Adi pindah tidur ke kamar belakang. Kami hanya bicara jika membahas Raka. Sisanya… hening.

Awalnya aku pikir mungkin jarak itu akan memberi ruang untuk berpikir. Tapi yang ada, kami justru makin jauh. Tiap kali mencoba bicara, ujungnya saling mengungkit luka lama—PHK empat tahun lalu, masa dia menganggur, malam-malam aku bekerja sambil hamil, sampai hal-hal kecil yang seharusnya tidak berarti, seperti siapa yang lupa mematikan lampu ruang tengah sebelum tidur, atau siapa yang lebih sering membuang sampah dapur.

Bulan Juni, kami mulai membicarakan soal pengasuhan Raka. Aku ingin dia tetap tinggal bersamaku. Adi hanya mengangguk, wajahnya datar. Tidak ada protes, tapi juga tidak ada pembicaraan lanjutan.

Bulan Juli, aku resmi mengajukan gugatan. Saat menandatangani berkas, tidak ada air mata. Hanya rasa lelah yang sudah mengeras menjadi tekad.

***

“Bu, ini untuk persiapan mediasi, ya.” Seorang petugas perempuan menghampiriku, menyerahkan selembar kertas.

“Karena Ibu dan Bapak baru talak satu dan sebelumnya belum pernah pisah rumah lebih dari 6 bulan, kami dari pihak pengadilan agama masih akan mengusahakan mediasi dulu. Akan dinilai juga oleh hakim nantinya apakah pernikahan Ibu dan Bapak masih bisa dilanjutkan atau memang harus berpisah.”

Aku mengangguk, menyetujui tanpa banyak bicara. Pandanganku kembali ke pintu masuk. Masih kosong.

Orang-orang di sekitar dipanggil satu per satu memasuki ruang mediasi. Aku tetap duduk, menunggu giliran yang belum bisa dimulai tanpa kehadiran Adi.

Pikiranku melayang ke Raka yang kutitipkan sementara pada ibuku. Pagi tadi dia memelukku sebelum aku berangkat, bertanya, “Mama mau ke mana?”

“Ke tempat kerja Mama,” jawabku sambil tersenyum, meski dalam hati terasa sesak. Aku belum siap menjelaskan pada anak tiga tahun bahwa Mama dan Papa-nya akan menjalani sidang perceraian.

Jam menunjukkan hampir setengah jam lewat dari jadwal. Petugas melirikku, lalu kembali melihat pintu. “Suaminya belum datang, Bu?”

Aku menggeleng. “Belum.”

Dalam hati, aku mencoba menebak. Mungkin macet. Mungkin dia memang belum berangkat. Atau mungkin… dia memang sengaja.

Ruang tunggu terasa semakin panas. Pendingin udara seperti tak bekerja. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

Kilasan dari tiga bulan terakhir kembali melintas di kepalaku.

— Malam-malam tidur sendirian, mendengar suara game dari kamar belakang.

— Makan malam yang hening, tanpa satu kata pun selain komplain rasa masakan yang entah keasinan atau kadang terlalu hambar menurutnya.

— Raka bertanya kenapa Papa tidur di kamar belakang, dan aku hanya bisa menjawab dengan senyum hambar.

— Pertengkaran kecil yang membesar hanya karena cucian piring atau uang belanja yang kurang.

Semua itu seperti kerikil kecil yang lama-lama memenuhi sepatu, membuat setiap langkah terasa mengganggu dan menyakitkan.

Seorang petugas menghampiri dan berkata, “Bu Rani, karena suaminya belum hadir, kita tukar dulu gilirannya dengan pasangan lain yang sudah datang, ya. Kalau beliau datang nanti, kita masukkan lagi.”

Aku mengangguk, menunduk menatap map di pangkuanku. Di luar, panas siang mulai menyusup lewat celah pintu. Aku tak tahu apakah aku berharap Adi datang atau tidak.

Lihat selengkapnya