Mengulang Awal

RH Ishak
Chapter #4

POV RANI | Bab 3 - Suara yang Membelah Waktu

“Rani… bangun, Kak… Bangun…”

Suara itu pelan, serak tapi hangat—suara yang sudah empat tahun tidak pernah kudengar kecuali di mimpi.

Aku berusaha mengangkat kelopak mataku yang berat, tapi kepala ini seperti terbenam di dalam air. Samar-samar, terdengar bunyi beep… beep… beep… yang teratur, seperti mesin detak jantung di IGD. Suara ayahku bercampur dengan irama itu, membentuk gelombang aneh yang menembus kesadaranku.

“Rani… ayo bangun…”

Beep… beep… beep…

Kelopak mataku terbuka. Cahaya lampu kamar menyilaukan mataku sejenak. Aku mengerjap, mencoba fokus. Bunyi beep itu masih ada, tapi… bukan dari mesin rumah sakit. Tanganku meraba ke sisi bantal—sebuah ponsel dengan layar berkedip, alarm berbunyi.

Aku mematikan alarm itu. Layar menampilkan tanggal Senin, 18 Agustus 2014 pukul 03.00 pagi.

Jantungku seperti diperas. Aku menatap layar itu lama, tidak berkedip. Aku… masih setengah berharap ini efek obat bius atau mimpi aneh. Tapi ponsel ini… bukan milikku yang sekarang. Ini model lama, warna putih, dengan casing plastik yang sudah sedikit menguning di sudutnya—ponsel yang sudah kugunakan hampir sepuluh tahun lalu. Ponsel kotak kecil dengan tombol menu di tengah yang bahkan belum memiliki teknologi Fingerprint apalagi Face ID. 

Pelan-pelan aku bangkit duduk. Pandanganku berkeliling, menyapu setiap sudut ruangan. Tirai tipis berwarna krem menari pelan tertiup angin dari jendela. Di atas meja rias, ada tumpukan skincare remaja—bedak compact, lip balm mungil, botol parfum yang tinggal separuh. Poster Harry Potter menempel di dinding, ujungnya sudah sedikit sobek. Dan di sudut kamar, gantungan baju kayu penuh dengan kemeja, dress, dan cardigan warna pastel—semua yang dulu kusukai sebelum pernikahan, sebelum Raka, sebelum pandemi, sebelum semua ini…

Aku memandang tanganku. Tidak ada bekas infus, tidak ada luka, tidak ada darah. Bahkan cincin pernikahan yang biasanya ada di jariku—hilang. Jemariku telanjang, seperti dulu. Napasku memburu.

Kakiku melangkah pelan ke depan cermin. Rambutku terurai panjang, hitam dan tebal, belum terpotong pendek seperti terakhir kali di 2024. Wajahku… oh Tuhan. Garis-garis lelah yang selama ini selalu kulihat—pucat di bawah mata, kerutan di dahi—hilang. Kulitku segar, pipiku berisi, mataku bulat dan bening seperti sepuluh tahun lalu.

“Ini… apa?” bisikku pada diri sendiri.

Suara ketukan pintu membuatku tersentak.

“Rani… ayo bangun. katanya kamu harus sampai di kampus jam 5 kan karena ospek hari pertama?” suara itu lagi. Ayahku. Suara yang… seharusnya tidak mungkin kudengar di dunia nyata.

Langkahku gontai menuju pintu, tapi aku berhenti sebelum membukanya. Tanganku bergetar. Aku takut. Takut kalau ini hanya mimpi dan begitu kubuka pintu, semuanya akan menguap, dan aku kembali ke ruang IGD dengan bau obat dan suara perawat. Tapi… kalau ini bukan mimpi, artinya aku… benar-benar kembali.

Aku menarik napas panjang, lalu membuka pintu. Dan di sana, berdiri ayahku—segar, sehat, mengenakan singlet putih dan sarung kotak-kotak hijau emerald. Senyumnya seperti matahari pagi yang dulu selalu menyapaku sebelum berangkat.

“Lama banget deh bangunnya kebiasaan. Ayo cepat mandi, nanti terlambat. Ayah nggak mau ya disuruh-suruh ngebut kalau kamu telat,” katanya sambil tertawa kecil.

Lihat selengkapnya