Seperti di masa lalu, pagi ini aku berangkat ke kampus untuk pertama kali—setidaknya di kehidupan yang ini—dengan diantar ayah. Mobil ayah melaju lambat berbelok dari arah Lenteng Agung ke kompleks Kampus UI Depok, memperlihatkan tembok bertuliskan Universitas Indonesia di seberang kanan jalan.
Mobil ayah melambat ketika memasuki Gerbatama, sebab sudah ada antrian macet dari kendaraan-kendaraan lain yang sepertinya juga para mahasiswa baru diantar orang tuanya. Aku terdiam kagum dengan betapa miripnya kejadian ini dengan apa yang aku ingat dulu.
Saat melewati Gerbatama, ayah membuka jendela dan seorang petugas memberikan kartu parkir—persis seperti dulu di 2014. Sebab, di masa depan nanti, kartu parkir sudah diganti dengan karcis dari mesin parkir otomatis yang bisa dibayar dengan kartu elektronik.
Ketika sampai di depan stasiun UI, aku meminta untuk diturunkan oleh ayah, “Sampai di sini aja, Yah. Kakak gak boleh turun diantar di depan fakultas, harus jalan bareng-bareng sama maba lain dari sini.”
“Oh, ya sudah.” Ayah memberikan tangannya untuk disalimi. Lalu, beliau mencium dahiku, seperti biasa dulu. “Jangan capek-capek, ya, Kak.”
Air mataku mengambang.
“Ayah juga, jangan capek-capek, ya. Jangan lupa makan yang bener, jangan minum kopi terus…”
Ayahku menatapku keheranan, karena aku yang di masa 2014 tak mungkin mengatakan hal serupa itu padanya. Belum sempat ia menanyakan kenapa, aku sudah buru-buru turun dari mobil karena klakson dari kendaraan lain.
Udara subuh di Depok dingin menusuk tulang, tapi stasiun UI sudah riuh oleh suara manusia. Beberapa mahasiswa baru dari berbagai fakultas dengan baju putih dan celana hitamnya sudah berbaris diatur oleh beberapa panitia Ospek yang menggunakan almamater khas UI—Jaket Kuning.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi yang memakai Jaket Kuning bermakara putih dan pita hitam di lengannya dengan suara berat dan lantang memanggil, “Maba FIB masuk barisan.”
Aku buru-buru mengikuti arah gerak tangannya ke barisan mahasiswa fakultasku yang lainnya.
Aku berdiri di belakang kerumunan mahasiswa baru yang berjejal, semuanya menunduk menatap tanah karena para Jenderal—sebutan untuk panitia komisi disiplin di fakultasku—akan mengintimidasi siapa saja yang berani menatap mata mereka. Lampu-lampu jalan masih menyala, memantulkan cahaya kekuningan di wajah-wajah yang bercampur antara gugup dan bersemangat.
Di pundakku, tas ransel berisi perlengkapan Ospek terasa berat. Aku tersenyum kecil sambil tetap menunduk, melihat kartu nama cukup besar berbentuk seperti rumah adat menggantung dari leher dan menutup sebagian besar badanku yang kecil. Setiap detailnya masih sama seperti apa yang aku ingat dulu.
“Maba FIB jalan cepat beriringan!” seru salah seorang Jenderal.
Aku mengikuti langkah kaki para mahasiswa baru lainnya.
“Jalannya dipercepat!” seorang Jenderal lainnya berteriak mengintimidasi.
Aku berjalan cepat setengah berlari.