Langkah kakiku bergema di lantai auditorium yang dingin. Udara di dalam ruangan besar itu terasa berbeda dari luar—lebih sunyi, tapi juga lebih menekan. Cahaya lampu sorot membuat bagian depan ruangan terang benderang, sementara di bagian penonton ada lantai berundak ke atas yang dibiarkan kosong melompong hanya dialasi dengan karpet merah tebal, menunggu dipenuhi para mahasiswa baru.
Aku berjalan mengikuti barisan kelompokku, mengikuti apa yang diinstruksikan para Jenderal. Tetapi saat ini pikiranku melayang pada kejadian di tangga tadi.
Adi jatuh, itu tidak ada di ingatanku.
Seharusnya… momen itu hanyalah sekelebat pandangan biasa. Aku, menilai penampilannya yang berantakan, dan dia… seharusnya sama sekali tidak sadar akan kehadiranku. Tapi kali ini, tatapannya langsung menembusku, seolah dia benar-benar melihatku. Bukan melihat seorang maba acak, tapi melihat aku.
Aku mencoba menghapus bayangan itu dari kepalaku. Mungkin cuma kebetulan. Mungkin dia memang sedang melihat ke arah barisan kami. Tapi cara matanya membesar, seperti mengenali, membuat hatiku tak tenang.
“Cepat duduk sila sesuai barisan,” suara Jenderal memecah lamunanku. Aku segera duduk di barisan, di sebelah kananku dibiarkan kosong untuk memberi jalan dan memisahkan dari kelompok sebelah.
Di atas panggung, dua MC masih memandu acara perkenalan fakultas. Candaan-candaan ringan mereka disambut tawa kecil mahasiswa baru yang masih tegang. Namun, sesekali aku merasa ada pandangan yang menempel di punggungku.
Refleks, aku menoleh ke kanan—ke barisan panitia di sisi ujung tembok auditorium. Dan di sana, Adi berdiri. Tidak bergerak, tidak ikut tertawa, hanya berdiri bersandar pada tembok dengan tangan terlipat. Matanya tertuju… padaku.
Dadaku berdegup kencang. Aku buru-buru memalingkan wajah, mencoba fokus ke panggung. Tapi itu malah membuat telingaku menangkap langkah kakinya. Tidak lama, ia bergerak ke arah pintu samping.
Jantungku berdebar tak karuan saat ia berjalan melewatiku, cukup dekat hingga aku bisa merasakan sedikit hembusan angin dari gerakannya. Dalam sekilas, aku bisa melihat jaket kuningnya bergeser di sudut mataku. Aku menunduk, pura-pura mencatat sesuatu di kertas, tapi indraku terjaga penuh.