Mengulang Awal

RH Ishak
Chapter #7

POV RANI | Bab 6 - Penutupan yang Tak Sama

Hari terakhir Ospek. Tiga hari yang melelahkan akhirnya sampai di ujungnya.

Sejak pagi, pikiranku terus melayang ke kejadian di hari kedua OSPEK. Semua berjalan persis seperti yang kuingat—barisan, kegiatan, instruksi, bahkan gurauan-gurauan panitia—dan beberapa kali aku melihat Adi. Selalu di kejauhan. Selalu sibuk. Dan selalu… menghilang lagi sebelum aku bisa benar-benar memastikan.

Adi yang kulihat sekilas di kerumunan, sibuk mengarahkan panitia lain melalui HT sesekali. Tapi setiap kali aku mencoba menangkap sosoknya lebih lama, dia menghilang lagi, seolah sengaja menjaga jarak dan tidak ingin terlihat olehku.

Aku tahu di masa lalu, aku jarang sekali bertemu dia di hari-hari Ospek, apalagi berbicara langsung dengannya pun tidak terjadi. Tapi kali ini, meski jaraknya jauh, entah kenapa tatapan itu terasa… menyadari keberadaanku.

Sekarang, di hari penutupan ini, aku mulai tegang. Aku ingat betul acara terakhir ini—“Dinamika Angkatan”—dan kerusuhan yang tak pernah direncanakan panitia. Kerusuhan yang di masa lalu membuatku pingsan karena asmaku kambuh. Kerusuhan yang ingin sekali kuhindari di kehidupan yang ini.

Jam menunjukkan hampir pukul tiga sore ketika panitia mengarahkan semua maba ke area belakang teater daun. Udara Depok panas, sinar matahari menimpa kulit tanpa ampun. Beton semen tempat kami duduk sudah menyerap panas sejak siang, membuatnya seperti kompor yang menghanguskan. Bau keringat bercampur debu, suara sepatu beradu di tanah, dan teriakan para Jenderal yang membimbing barisan bercampur menjadi satu.

Maba berpita merah—seperti aku—dipisahkan dari barisan utama dan diarahkan ke bagian undakan di dalam teater daun. Di masa lalu, aku duduk di pinggir tengah—jalur yang dilewati banyak orang. Saat kerusuhan pecah, maba yang panik berdesakan lewat jalur itu, memaksaku terhimpit di tempat duduk sempit, napasku tersengal, asmaku menyerang, dan pandanganku menggelap.

Kali ini, aku tidak akan mengulanginya.

Aku melangkah lebih cepat, mencari tempat duduk di sudut yang lebih aman. Ada satu spot di sisi kiri, dekat dinding teater, agak jauh dari jalur lewat. Aku duduk di sana, menaruh ransel di pangkuan, mencoba menenangkan detak jantungku yang sedikit lebih cepat dari biasanya.

Suara panitia mulai memenuhi udara. Di panggung teater daun, ketua DPM berdiri tegap, mikrofon di tangannya, sementara ketua OSPEK berdiri di sebelahnya. Kata-kata mereka lantang, penuh energi—dan perlahan mulai memanas.

“Kalian ini mahasiswa! Jangan diam saja kalau ada ketidakadilan!” seru ketua DPM, nadanya meninggi.

“Bersatu! Tunjukkan solidaritas kalian!” timpal ketua Ospek.

Aku sudah tahu ini hanya bagian dari skenario untuk memancing semangat angkatan baru. Tapi di masa lalu, satu maba bereaksi terlalu emosional. Protesnya berubah jadi teriakan, lalu seperti api yang menyambar bensin, amarah merambat ke yang lain.

Aku melirik jam. Detik-detik itu semakin dekat. Perutku mengeras, telapak tanganku basah. Aku memandang ke arah jalur tengah, memastikan aku jauh dari sana. Aman. Setidaknya itu pikirku.

Lihat selengkapnya