Aku memandang jam digital di tangan yang menunjukkan pukul 14.05. Jalanan siang itu panasnya seperti membakar aspal. Setelah izin mengajukan cuti setengah hari di jam 12 siang, setelah menempuh kemacetan selama 2 jam, aku masih belum sampai juga di kantor Pengadilan Agama. Hari ini, aku dan Rani akan menghadapi mediasi perceraian.
Separuh pikiranku masih tersangkut di revisi data yang kukerjakan tadi pagi. Separuh lagi… dipenuhi kenangan yang seharusnya kubuang. Tapi anehnya, justru kenangan-kenangan itu yang mengalir deras. Senyumnya waktu pertama kali aku beranikan diri ajak mengobrol. Tangan kecilnya yang pernah kugenggam saat hujan di halte kampus. Tatapannya saat marah, saat tertawa, bahkan saat diam—semua menghantam tanpa ampun.
Aku berhenti di lampu merah. Tarikan napas terasa berat. Mata menatap cincin kawin di jariku. Benda kecil yang kini terasa seperti beban.
“Apa gunanya lo masih di sini…” gumamku pelan.
Tanganku menggerayangi cincin itu, mencoba melepaskannya. Logam dingin itu bergeser di kulit, menampilkan kulit berwarna belang di bawahnya. Begitu cincin hampir lepas, lampu lalu lintas tiba-tiba berubah hijau. Klakson dari belakang memecah lamunanku.
Sial.
Aku buru-buru menarik gas, motor meloncat maju. Tapi cincin di jariku goyah, hampir jatuh ke aspal. Refleks, aku melepas gas sambil meraih cincin itu. Gerakan kecil yang bodoh—dan cukup untuk membuat ban depan goyah.
Oleng.
Aspal yang panas menyambut badanku lebih cepat dari pikiranku bisa memproses apa yang terjadi. Tubuhku terhempas, helm membentur keras, dan pandangan langsung berkunang-kunang.
Suara klakson memekak. Orang-orang berteriak. Ada tangan yang meraih lenganku.
“Mas, denger nggak?! Mas!”
Napas terasa sesak. Rasa logam memenuhi mulutku. Mataku mencoba fokus, tapi dunia berputar cepat.
Sirine ambulans datang dari kejauhan, makin lama makin dekat. Suara pintu geser dibuka. Bau antiseptik menyeruak bersama teriakan panik paramedis.
“Pulse drop! Angkat ke tandu, cepat!”
“Laki-laki ini nggak responsif! Masker oksigen, sekarang!”
“Satu-dua-tiga—angkat!”
Getaran roda tandu di aspal, detak sepatu para medis di sekelilingku, dan cahaya lampu siang yang silau menusuk mata. Seseorang menempelkan masker oksigen ke wajahku.
“Mas, tetap sadar ya! Denger suara saya?”
Aku ingin bilang aku masih sadar. Tapi lidahku berat. Suara keluar seperti gumaman.
Sirine ambulans meraung lagi. Getaran mobil yang melaju kencang membuat kepalaku berdenyut. Aku mencoba bertahan, tapi perlahan semua suara itu memudar.
Gelap.
Dentang pintu dorong. Lampu-lampu putih melintas di atas kepala.
“Tekanan darah turun! 90 per 60!”
“Oksigen cepat! Kita butuh akses vena besar, sekarang!”
Suara-suara itu berganti-ganti, seolah aku berada di tengah pusaran yang tak bisa kuikuti.
Aku merasa seperti sedang jatuh ke air yang sangat dalam. Setiap tarikan napas seperti menarik batu ke paru-paru.
Dalam benak, wajah Rani muncul, tapi bukan wajah yang tersenyum. Wajahnya yang letih, menatapku seolah bertanya, ‘kenapa kita sampai di titik ini?’
Aku menyesal. Menyesal memintanya menikah saat aku belum siap. Menyesal karena ternyata aku tidak pernah benar-benar memberinya rumah untuk pulang—hanya atap yang dingin, penuh diam. Menyesal… karena aku mungkin akan pergi tanpa sempat bilang maaf.