Mengulang Awal

RH Ishak
Chapter #9

POV ADI | Bab 8 - Mengubah Masa Lalu

Panas Depok di jam tiga sore itu bukan cuma menempel di kulit—dia menembus jaket kuning, menodong tengkuk, bikin kepala cepat panas. Aku berdiri di sisi kiri teater daun, HT di tangan kanan, clipboard diganjal ketiak. Di belakang panggung, anak sound mengecek mic, “Check, one, two, ssshhh—” lalu feedback tipis melengking. Aku kibas tangan ke teknisi, kasih kode potong. Dia angguk.

Aku sudah berhari-hari menanamkan diri di belakang panggung, di tempat paling tidak terlihat dari mata maba. Sengaja. 

Sejak hari pertama tidak sengaja berpapasan mata dengan Rani, aku menghindar sering muncul di depan maba. Masuk-keluar gudang, ngawal genset, naro cones untuk garis batas, pura-pura lebih sibuk dari biasanya. Lebih aman kalau aku tidak tampil mencolok, memastikan aku tidak tampak di pandangan Rani—apalagi meninggalkan jejak kenangan yang membekas.

“Divisi disiplin, konfirmasi jalur keluar-masuk maba… ulang, jalur keluar-masuk. Tengah tertutup setengah. Arahin arus dari sayap kiri,” kataku ke HT. Suaraku terdengar lebih ketus dari biasanya. Biar. Lebih mudah ngatur kalau semua orang ngerasa ini gawat.

“Disiplin copy,” jawab Bagas dari sisi parkiran. “Jalur kanan bisa dipakai emergency. Panitia medis standby di belakang panggung.”

“Good,” gumamku.

Kuangkat kepala, hamparan beton di belakang teater daun sudah penuh: ratusan maba putih-hitam duduk bersila, pundak nempel pundak. Di undakan dalam teater, maba berpita merah—anak-anak dengan catatan kesehatan—dipisah sesuai SOP. Di kertas rundown, itu keputusan final: “pita merah duduk di area undakan tengah, mudah dipantau.” Di kepalaku, lampu kuning menyala: undakan tengah = jalur orang lalu-lalang. Risiko bottleneck kalau suasana panas. P

ernah kubahas di rapat? Mungkin. Aku tidak ingat jelas apa yang terjadi di rapat masa lalu.

Aku berjalan cepat menepi, memeriksa radius jalur. Wajah-wajah panitia lewat: Dani ketua ospek sambil pegang mic cadangan; Aldo MC yang selalu santai, melambai kecil; Caca, partnernya, sibuk menata cue card. Semua berjalan seperti skenario. 

Tapi pikiran tidak bisa selalu diatur. Setiap kali pandanganku menyapu area, ada satu titik yang terus menarik: undakan tengah. Bukan karena siapa-siapa. Bukan karena aku cari orang. Refleks saja, mungkin karena posisi pita merah yang bikin tidak sreg. Aku menggerakkan HT lagi.

“Medis, ulang posisi. Berapa tandu yang ready?”

“Dua tandu, satu kursi roda, oksigen portable dua,” jawab Nadine dari pos medis.

“Oke, good.”

Langkah-langkah kecil terdengar di belakang. Bowo menyodok lenganku dengan map plastik. “Di, final rundown. Ketua DPM minta durasi slot orasi diperpanjang lima menit. Katanya biar ‘napasnya dapat’.” Bowo ngecap kata napas dengan gaya-gayaan. Aku ambil map, cuma mendengus.

“Boleh, tapi brief MC: kalau mulai panas, cut. Sinyalnya: ‘energi kalian mantap’—habis itu langsung transisi yel-yel. Jangan kasih tontonan jadi kompor.”

“Siap, bos. Lo belakangan mau naik ke panggung nggak? Nampakin muka dikit, kali.”

“Enggak. Gua di belakang.”

Bowo mengangkat tangan tanda paham, lalu lari kecil. Aku menarik napas pelan. Lindungi jarak, itu rencananya. Lindungi jarak dari kemungkinan apapun yang bikin hati goyah. Ngelihat Rani versi 2014 tadi pagi di stasiun UI bikin otakku loncat-loncat: semua yang kubenci dari diriku di 2024—yang lelah, yang dingin—minta diperbaiki. Tapi memperbaiki bukan berarti mengulang. Atau… gila yah, baru sehari “bangun” di sini, tapi kepala udah berat.

Suara mic memecah udara. Aldo di panggung, “Selamat sore, mahasiswa FIB!” Sorak ramai, gelombang tipis merambat. Caca menyusul, girang, “Akhirnya kita udah sampai di penghujung acara, ya!” Sorak lebih besar. Aku cek HT lagi, pindah channel ke keamanan.

“Keamanan, crowd control siap? Kalau ada eskalasi orasi, segera garis tiga meter dari panggung dijaga. Jangan biarin maba ngerumun sampai bibir panggung.”

“Siap,” jawab Bagas.

Aku naik tiga anak tangga undakan, berdiri di sisi kiri tempat duduk. Dari situ aku bisa lihat lebih jelas. Di deret tengah, aku kenali pita-pita merah menyala di lengan. Ada yang terlihat pucat sejak tadi, ada yang menunduk. Mata menyapu cepat—hanya memastikan… keselamatan. Titik. Bukan cari muka. Bukan cari orang.

Tapi sudut pandang itu, sialan, justru memberiku garis pandang yang tanpa sengaja menangkapnya: seorang maba dengan ransel di pangkuan, kemeja putih sederhana, rambut dikuncir rapi. Rani, Ia duduk… bukan di ujung jalur, lebih kiri—setengah aman. Akal sehatku bilang: bagus, posisinya lumayan. 

Tapi ada sesuatu yang muncul dari dalam kepala—cerita lama terangkat. Dulu, bertahun kemudian, Rani pernah bilang, “Aku pingsan di teater daun gara-gara kejebak di jalur orang. Kayak dicekik sama udara, tapi waktu beberapa detik sebelum bener-bener gelap, aku inget digotong sama kamu.” Saat itu, aku cuma manggut, menertawakan diri bahwa—kataku—aku nggak ingat detail, karena kupikir aku cuma bantu ngegotong banyak orang.

Sekarang, potongan cerita itu menjejal. Jalur tengah sedang padat. Panggung siap masuk sesi yang “manas-manasin”. Kalau sedikit saja ada bensin—kata-kata yang terlalu tajam, satu maba yang ego-nya tersulut—jalur itu akan jadi aliran deras. Dan Rani, meski agak ke kiri, tetap di lintasan dorong. 

Aku berpikir dalam, ragu apa yang harus kulakukan. Haruskah aku pindahkan Rani dan anak-anak berpita merah lainnya? Atau aku pura-pura nggak tahu saja? Ah, persetan pura-pura nggak tahu, cegah saja, lah. Siapa tahu dengan Rani nggak jadi pingsan, aku jadi nggak perlu ngegotong dan ingatan dia tentangku jadi tidak terlalu membekas. Mungkin ini bisa mencegah proses kami menjadi dekat.

Aku cuma… nggak mau nanti harus menggendong dia. Aku nggak mau momen itu mengkristal di kepalanya. Kalau yang dia ingat hanyalah panitia acak—bukan aku—mungkin ingatan itu pudar. Mungkin alur hidupnya nggak tertambat di momen yang… ah, sudahlah. Pragmatis. Ini semuanya harus pragmatis.

HT diangkat. “Disiplin, Nadine, denger. Pita merah jangan di jalur tengah. Arahkan geser sedikit ke area belakang panggung—yang undakan dekat dinding. Kasih alasan teknis apa pun. Sekarang.”

Terdengar jeda heran, lalu Nadine, “Tapi rundown bilang—”

“Ini perintah. Kalau ada yang nanya, bilang Adi yang suruh,” potongku. “Dan tolong, halus. Jangan bikin heboh. Pindah kelompoknya satu-satu.”

Lihat selengkapnya