Tentu saja kami sangat berharap Heri Winarko, penulis kisah kami berlima – aku, Biber, Momon, Kikan, dan Giguk, adalah manusia yang sehat dan normal. Sungguh di luar dugaan, yang kami temui di sini ternyata seonggok manusia yang lumpuh tak berdaya di atas kursi roda, yang bahkan untuk mengetik di laptop pun dia memerlukan aplikasi “voice to text”.
Untuk beberapa saat kami terpaku mendapati kenyataan yang sungguh mengejutkan tersebut. Dengan kondisi semacam itu, wajar saja jika novelnya, The Discarded Pig, penuh dengan kekurangan di sana-sini. Dan dengan kondisinya itu, kami yakin bahwa dia tentu telah sangat-bersusah-payah untuk menuliskan kisah kami itu hingga selesai, dan akhirnya diterbitkan dalam bentuk sebuah novel.
“Novel kalian ditulis dalam rentang waktu yang panjang. Saat mulai menulisnya, dia belum sesakit saat ini,” kata perempuan berusia enam puluhan tahun yang merawatnya, seolah memahami apa yang berkecamuk di pikiran kami.
Kikan yang paling terguncang. Matanya berkaca-kaca, dan hampir-hampir tak dapat menyembunyikan isak sedihnya. Yang paling tegar, tentu saja Biber. Beruang yang selalu menjadi juru bicara kami itu, selalu terlihat sebagai yang paling tegar. Demikian pun kali ini: sejak dari memperkenalkan diri kepada perawat itu, menjelaskan hal yang tidak cukup lazim: tokoh-tokoh novel yang hendak menemui penulisnya, hingga menyampaikan dengan hati-hati niat kami berdiskusi dengan penulis kisah kami itu.
Heri Winarko saat itu tengah tertidur di ranjang rumah sakitnya, yang ditempatkan di ruangan khusus di rumah tua itu. Kami berlima hanya bisa mengamatinya dari depan pintu dobel kamarnya yang terbuka separuh. “Sebaiknya kalian tidak terlalu dekat,” ujar si perawat.
“Mengapa tidak boleh?” protes Momon. Berharap diperbolehkan mendekati ranjang itu, tetapi si perawat tampak berkeras hati.
“Kami sudah datang dari jauh, menempuh perjalanan yang tidak bisa dikatakan pendek, serta mempertaruhkan hidup dan nasib kami..., melewati prosedur yang jelas tidak sederhana..., dan tidak biasa...,” tambah Biber dengan hati-hati.
Si perawat terdiam, menatap kesungguhan di raut muka beruang itu, dan akhirnya menghela napas panjang. Seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun tidak jadi.