Awalnya adalah ide Momon yang semanis gula-gula: menemui penulis kisah kami di dunia nyata. Sebuah ide yang menyenangkan, namun sedikit di luar nalar. Out of the box. Bagaimana mungkin tokoh-tokoh fiksi dapat berinteraksi secara langsung dengan penulisnya? Bukankah keberadaan kami pun tak lepas dari olah-pikir penulisnya? Dalam bahasa yang lebih lugas, bukankah kami ini hanyalah tokoh fiktif yang berada dalam alam pikiran sang penulis?
Yang pertama berada di belakang Momon mendukung ide itu adalah Kikan. “Kalian ini lupa, atau bagaimana? Di Hi-Five tempat tinggal kita ini, teknologi sudah sangat maju. Mesin waktu sudah bisa mengatur agar kita bisa melakukan perjalanan, baik ke masa lalu maupun ke masa depan. Nah, kita bisa memanfaatkannya untuk pergi mengunjungi penulis kita. Narame pasti akan mengizinkan jika Macan meminta hal itu ke dia...”
“A... Aku tidak yakin tentang itu. Sepertinya ada mekanisme take and give yang harus kita pastikan terlebih dahulu, bagaimana cara kerjanya,” kataku tak yakin.
“Penerima donor pankreas Mila, eh maksudku Alice, adalah novelis kawan Narame yang tinggalnya di Jakarta. Para wisatawan Hi-Five, yang menyamar menjadi manusia cebol, juga menyergap kita di masa lalu, tetapi apakah menemui penulis kita dapat disamakan dengan kedua hal tersebut?” Biber masih kebingungan.
“Tidak ada salahnya dicoba,” ujar Giguk. Ia menoleh ke arahku. “Sebaiknya kautanyakan ke Wekker.”