Menikah dengan Pria yang Membenci Ibu Kandungku

Okhie vellino erianto
Chapter #1

PERNIKAHAN YANG TIDAK AKU MINTA

Aku ingat hari itu. Langit mendung, angin lambat, dan suasana rumah begitu senyap seolah sedang menunggu sebuah keputusan besar. Tapi tak satu pun dari itu yang mampu menyiapkanku untuk kabar yang disampaikan ayahku dengan nada datar.

“Kamu akan menikah minggu depan, Aurel.”

Aku menatapnya dengan dahi mengernyit, mengira itu hanya salah satu dari candaan garing ayah yang terlalu sering gagal membuatku tertawa. Tapi kali ini tidak ada senyum di bibirnya. Tidak juga tatapan geli seperti biasa. Hanya ekspresi dingin, kaku, seperti seorang eksekutor menjatuhkan vonis.

“Dengan siapa?” tanyaku akhirnya, pelan, penuh rasa takut.

“Alvano Mahardika.”

Nama itu bukan nama asing. Justru terlalu familiar di berita-berita bisnis, majalah Forbes Asia, dan dalam dunia perusahaan besar yang hanya bisa kulihat dari layar ponsel. Alvano Mahardika. Pewaris utama Mahardika Corp — kerajaan bisnis raksasa yang menguasai setengah sektor energi dan properti di Asia Tenggara. Kaya, muda, tampan, dan terkenal... dengan reputasi dingin, tak berperasaan, dan penuh misteri.

“Kenapa aku harus menikah dengannya, Yah?” suaraku bergetar. “Apa... kita terlilit utang?”

Ayahku diam. Dan dari diamnya, aku tahu jawabannya: iya.

Ibuku masuk beberapa menit kemudian, wajahnya tampak tenang, bahkan sedikit tersenyum seolah sedang merestui hubungan impian anak gadisnya.

“Ini demi masa depanmu, Rel. Ayahmu pernah diselamatkan Mahardika Group waktu perusahaan kita nyaris bangkrut. Mereka menagih janji. Dan... Alvano sendiri yang meminta kamu.”

Aku tertegun. “Dia minta aku? Tapi... kenapa? Kita bahkan tidak saling kenal.”

Ibuku mendekat, menggenggam tanganku. “Kadang, kita harus memilih antara cinta dan keluarga. Ini bukan tentang kamu. Ini tentang menyelamatkan harga diri keluarga kita.”

Tapi... kenapa aku merasa seperti sedang dijual?

Tujuh hari berikutnya terasa seperti kabut tebal. Aku diukur untuk gaun pengantin, diajari tata krama dalam keluarga elite, dipersiapkan untuk pesta pernikahan yang tak pernah aku inginkan.

Aku tidak pernah bertemu Alvano secara langsung — sampai malam sebelum hari H.

Dia datang ke rumah, mengenakan jas hitam dan jam tangan yang mungkin seharga apartemen. Rambutnya hitam pekat, wajahnya tajam dan maskulin. Tatapan matanya tajam, menusuk, tapi tidak kosong. Justru sebaliknya: terlalu penuh.

Penuh amarah.

Dia menjabat tangan ayahku, lalu menatapku sekilas. Senyum tipis muncul — bukan senyum lembut, tapi senyum seperti... puas karena rencana berjalan sesuai harapan.

Saat hanya kami berdua berdiri di ruang tamu, dia mendekat dan membisikkan sesuatu ke telingaku.

“Pernikahan ini bukan hadiah. Ini hukuman. Dan kamu... hanya bagian dari perhitungan yang harus lunas.”

Jantungku berhenti sejenak.

Sebelum aku sempat bertanya apa maksudnya, dia sudah pergi.

Hari pernikahan tiba. Aku berjalan di altar dengan gaun putih megah dan senyum yang kupaksakan. Kamera memotret kami dari berbagai arah. Semua tamu undangan dari kalangan elite menatap kami dengan haru.

Mereka tidak tahu bahwa di dalam hatiku, badai sedang menggulung hebat.

Saat ijab kabul selesai, tangan Alvano menyentuh jemariku. Dingin. Bukan hanya suhu tubuhnya, tapi juga auranya. Ia tak menatapku ketika cincin melingkar di jari manisku.

Lihat selengkapnya